REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR-- Sekolah Damai yang diinisiasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus memperkuat para siswa dan santri tingkat SLTA/MA sederajat dengan nilai-nilai perdamaian untuk melawan tiga dosa besar dunia pendidikan di Indonesia yaitu intoleransi, kekerasan, dan bullying.
“Sekolah Damai merupakan salah satu dari tujuh program prioritas BNPT tahun 2024. Kami berharap melalui program ini, para siswa, santri, dan para pendidik memiliki kemampuan dalam melawan tiga dosa besar dunia pendidikan di Indonesia yaitu intoleransi, kekerasan, dan bullying,” ujar Direktur Pencegahan BNPT Prof Irfan Idris, MA, saat membuka kegiatan Sekolah Damai melalui workshop “Pelajar Cerdas Cinta Damai, Tolak Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying” di Pondok Pesantren IMMIM Putra Makassar, Rabu (6/11/2024).
Menurut Irfan, tiga dosa besar dunia pendidikan itu menjadi ancaman bagi perdamaian dan kelancaran proses belajar dan mengajar di satuan pendidikan. Tidak hanya itu, tiga dosa besar itu menjadi cikal bakal seseorang anak didik menjadi radikal atau bahkan terlibat dengan terorisme.
“Makanya dengan Sekolah Damai ini, kita ajak seluruh siswa, santri, dan para tenaga pendidikan untuk memiliki nilai-nilai perdamaian. Pasalnya, ada kelompok orang yang salah dalam memahami pesan-pesan Tuhan, dan hanya dipahami secara sepotong-potong dalam mengartikannya sehingga timbul sikap intoleransi, kemudian menjadi radikalisme, dan terorisme,” papar Prof Irfan.
Lebih lanjut, Prof Irfan menguraikan bahwa dalam ajaran agama, umat dilarang berlebihan dalam beragama. Ini penting karena bila berlebihan atau ekstrem, tentu akan bertentangan dengan nilai-nilai agama yang melarang kekerasan, apalagi sampai melakukan pembunuhan.
Ia mencontohkan, jangankan beragama secara ekstrem, orang sangat takut dengan cuaca ekstrem yang bisa merusak segala hal.
“Begitu juga dengan klaim kelompok-kelompok yang suka mengkafirkan orang yang berbeda, dengan mengatasnamakan jihad, lalu melakukan aksi bom bunuh diri. Padahal dalam Alquran disebut 41 kata jihad, tapi tidak ada yang menyuruh untuk bunuh diri,” jelas Irfan.
Ia mengaku gembira kegiatan Sekolah Damai di Ponpes IMMIM ini dihadiri 300 santri dan siswa. Mereka terdiri dari 235 santri Ponpes IMMIM dan 65 siswa/siswa sekolah di sekitar seperti SMAN 21 Makassar, SMAN 23 Makassar, SMAN 3 Makassar, MA Ats-Tsabats, MA PP Madinah, dan MA Ummul Mukminin. Kegiatan ini digelar dengan kolaborasi BNPT, Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah Sulsel, Kakanwil Kemenag Sulsel, dan Duta Damai Sulsel.
Irfan mengungkapkan, alasan utama kenapa siswa dan santri, sebagai generasi muda menjadi sasaran utama program Sekolah Damai. Menurutnya, tidak lepas dari keprihatinan dari hasil survei Setara Institute, dimana 83,3 persen generasi muda menyatakan Pancasila bukan ideologi bangsa Indonesia yang permanen alias bisa diganti. Ini tentu saja harus menjadi perhatian bersama karena Indonesia adalah negara bangsa, bukan negara agama.
“Kita harus prihatin dengan hasil survei itu. Makanya kita harus melakukan berbagai upaya agar jangan sampai anak-anak kita, para siswa dan santri ikut-ikutan meyakinai bahwa Pancasila bisa diganti. Mereka harus paham bahwa Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa telah menjadi kesepakatan para founding fathers bangsa. Dan didalamnya telah jelas bahwa dalam Pancasila telah terinternalisasi nilai-nilai agama,” terang Irfan.
Ia menguraikan bahwa generasi muda seharusnya bangga dengan Indonesia dengan segala keragamannya. Bahkan banyak negara iri karena Indonesia bisa bersatu meski terdiri dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke, ratusan suku, enam agama yang diakui, dan masih banyak lagi. Bandingkan dengan Korea, dimana mereka hanya satu daratan terbagi menjadi dua negara. Begitu juga dengan Rusia yang satu daratan terbagi beberapa negara bagian. Juga Yugoslavia, Czekoslavia, bahkan di Timur Tengah atau meski satu bahasa mereka terpecah menjadi 10 negara.
“Kami tidak pernah untuk mengimbau seluruh anak bangsa untuk selalu berkumpul dalam komunitas damai dan tetap bersatu padu. Perbedaan itu adalah sunatullah,” tukasnya.
Kemudian, lanjut Prof Irfan, masih dari survei Setara Institute, 56,3 generasi muda setuju hukum agama menjadi landasan bernegara. Padahal jelas, Indonesia bukan negara agama, tapi negara bangsa. Pun dengan hasil 61,1 persen setuju penggunaan atribut agama di satuan pendidikan.
Menurut Prof Irfan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya menyatakan tiga dosa besar pendidikan yaitu intolernasi, kekerasan, dan bullying banyak terjadi di satuan pendidikan. Bahkan di media sosial banyak berseliweran konten-konten kekerasan dan bullying di satuan pendidikan, dimana banyak guru yang sudah tidak dihormati siswa. Lalu bila guru memberi hukuman, mereka justru dilaporkan ke kepolisaan dengan tuduhan penganiayaan.
“Mari kita belajar karakter mengapa terjadi kekerasan dan mari kita pahami bersama, bahwa tiga dosar besar pendidikan boleh terjadi di satuan pendidikan. Mari kita jaga sekolah kita, Sekolah Damai harus mewarnai kebijakan di sekolah-sekolah,” tandasnya.
Workshop Pelajar Cerdas Cinta Damai juga menghadirkan narasumber mantan napiter Suryadi Mas’ud. Pria asli Makassar ini dikenal memiliki jabatan mentereng sebagai Ambassador ISIS Asia Tenggara. Ia tiga kali keluar masuk penjara dan sekarang telah bertobat berikrar kembal setia kepada NKRI dan aktif membantu pemerintah melakukan program deradikalisasi.
Pada kesempatan itu Suryadi bercerita bagaimana ia terpapar dengan paham radikal terorisme. Itu berawal dari masalah keluarga yang dialami ketika berada di bangku SMA. Dalam keadaan terguncang ia tida tahu harus mengadu ke mana karena di rumah tidak mendapat perhatian. Ia pun akhirnya memilih masjid sebagai tempat untuk menumpahkan kegundahannya.
Ironisnya, di masjid itulah, ia bertemu pendakwah yang notebene adalah perekrut kelompok teroris Repubik Persatuan Islam Indonesia (RPII) negara yang dideklarasikan Kahar Muzakar.
“Dari sana saya bergaul dengan banyak orang, lalu datang juga pengusung paham wahabi yang akhirnya saya mengkafirkan orang tua saya setelah mendapat doktrin dari ustaz-ustaz wahabi,” ungkapnya.
Salah satu doktrinya, kata Suryadi, bahwa thogut ada lima. Salah satunya adalah orang yang membuat hukum dan berhukum selain dengan hukum Allah. Dari situ dinarasikan bahwa bapak saya yang seorang TNI itu kafir dan Pancasila kafir. Ia pun tidak mau sekolah dan tidak mau mengikuti pelajaran PMP atau PPKN.
Karena itu, Suryadi menyarankan agar para guru di satuan pendidikan tidak membiarkan kegiatan Rohis di sekolah. Pasalnya, Rohis sering disusupi dengan ustaz-ustaz muda yang menarik anak-anak muda, padahal mereka adalah ustaz wahabi.
Setelah itu, lanjutnya, ia mulai bergabung dengan kelompok teroris dan akhirnya bergabung dengan Al Qaeda di Moro, Filipina. Di sana ia ikut berperang dan dilatih menggunakan senjata dan membuat bom. Selama kiprahnya, Suryadi pernah terlibat dalam Bom Bali 1 sebagai pengirim bahan baku bom, juga bom McDonald Makassar dan serangan teroris di Sarinah, Thamrin.
Ia pun harus tiga kali keluar masuk penjara. Dan titik baliknya ketika ia mendekam di penjara Super Maximun di Lapas Pasir Putih. Di situ ia dimasukkan sel sendirian dan hanya enam bulan sekali baru bisa melihat matahari. Di sana ia banyak membaca buku-buku dari para alim ulama dan dari sanalah pencerahan itu datang, dimana ia sadar bahwa apa yang dilakukan selama ini salah dan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Ia pun berpesan kepada para siswa dan santri agar mencintai Indonesia sepenuhnya. Juga agar para generasi muda mendekat pada ulama moderat, agar memiliki pemahaman agama yang baik.
“Cintai orang tua, guru, meski punya kesalahan. Cintai sesama, bantulah yang terdzolimi meski tidak seagama. Raihlah cita-cita dengan bersekolah dengan baik, jangan membalas kedzoliman dengan kedzoliman yang lain. Jangan mudah terprovokasi dengan keadaan di dalam dan di luar negeri,” pesan Suryadi mengakhiri paparannya.