Jumat 08 Nov 2024 13:27 WIB

Houthi: Trump akan Gagal Akhiri Konflik Israel-Palestina

Ketika menjadi presiden AS periode 2017-2021, Trump membawa "petaka" bagi Palestina.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Fernan Rahadi
Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat usai memenangkan pemilihan presiden.
Foto: AP Photo/Mark Humphrey
Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat usai memenangkan pemilihan presiden.

REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Pemimpin kelompok Houthi Yaman, Abdul Malik al-Houthi, mengatakan, terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) tidak akan membantu mengakhiri konflik di Timur Tengah (Timteng). Dia berpendapat, Trump bakal gagal berkontribusi menyudahi konflik di Timteng, khususnya antara Israel dan Palestina. 

Al-Houthi mengatakan, ketika menjabat presiden AS pada 2017-2021, Trump memang berhasil memediasi kesepakatan normalisasi diplomatik Israel dengan empat negara Arab, yakni Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko. Kesepakatan yang dikenal sebagai "Deal of the Century" itu digadang-gadang akan membawa perdamaian ke Timteng. 

 

Kendati demikian, al-Houthi menilai, kesepakatan normalisasi tersebut tak membantu penyelesaian konflik di kawasan. "Trump gagal dalam proyek the Deal of the Century terlepas dari semua kesombongan, keangkuhan, kecerobohan, serta tiraninya, dan dia akan gagal kali ini juga," ujarnya, Kamis (7/11/2024), dikutip laman Al Arabiya. 

 

Al-Houthi pun menyoroti keberpihakan Trump kepada Israel. Menurutnya, lawan Trump dalam Pilpres AS 2024, yakni Kamala Harris, turut menunjukkan dukungan terhadap Tel Aviv. "(Mereka) bersaing untuk menentukan siapa yang akan memberikan lebih banyak layanan kepada musuh Israel," kata al-Houthi. 

 

"Trump sendiri pernah menjabat sebagai presiden sebelumnya, dan sangat ingin memberikan pencapaian bagi Israel," kata al-Houthi. 

 

Ketika menjabat sebagai presiden AS periode 2017-2021, Trump membawa "petaka" bagi Palestina. Pada Desember 2017, AS, di bawah kepemimpinan Trump, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. AS menjadi negara pertama yang memberi pengakuan tersebut. 

 

Kala itu, keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel menuai cukup banyak kecaman dan protes, terutama dari negara-negara Arab. AS dinilai telah melanggar berbagai resolusi internasional terkait Yerusalem. Palestina diketahui menghendaki Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depannya. 

 

Setelah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Palestina menarik diri dari perundingan damai dengan Israel yang dimediasi AS. Palestina menilai AS tak lagi menjadi mediator netral karena terbukti membela kepentingan Israel. 

 

Pada Mei 2018, AS akhirnya memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Kala itu Palestina turut mengkritik keras keputusan AS tersebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement