REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Persoalan sampah masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Kota Yogyakarta. Berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini pun dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dengan melibatkan banyak pihak dari hulu ke hilir, termasuk masyarakat.
Kepala Bidang Persampahan, DLH Kota Yogyakarta, Ahmad Haryoko mengatakan, Kota Yogyakarta memproduksi sampah hingga 300 ton per hari. Sedangkan, sampah yang bisa terolah di tempat pengolahan sampah baru sekitar 200 ton.
“100 ton ini nanti kita olah di posisi hulunya, posisi dimana sampah itu ditimbulkan terlebih dahulu oleh sumbernya, baik rumah tangga, perkantoran, restoran, hotel,” kata Haryoko di Kompleks Balai Kota Yogyakarta, Kamis (21/11/2024).
Persoalan sampah muncul karena kapasitas TPA Piyungan yang sudah tidak mampu menampung sampah dari kabupaten/kota. Dengan daya tampung yang penuh, pemerintah menetapkan kebijakan desentralisasi sampah, sehingga pemerintah kabupaten/kota mau tidak mau harus mengelola sampahnya sendiri.
Sedangkan, lahan untuk mengolah sampah di Kota Yogyakarta juga terbatas dan menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menangani sampah. Untuk itu, seluruh pihak diharapkan dapat berkontribusi dalam menangani persoalan sampah.
“Kebijakan (desentralisasi) ini membuat kita tidak bisa siap 100 persen karena kurang lahan, karena di Kota Yogya banyak pemukiman. Aturannya, lokasi pengelolaan sampah juga harus berjarak 500 meter dari pemukiman,” jelas Haryoko.
Penanganan sampah di Kota Yogyakarta saat ini dipusatkan di tiga lokasi yakni di Nitikan, Kranon, dan Karangmiri. Di tiga lokasi ini, sampah yang diolah menggunakan mesin refused derived fuel (RDF).
Selain di tiga lokasi ini, pihaknya juga mengupayakan pengolahan sampah dengan memaksimalkan lahan pinjaman di TPA Piyungan seluas 2.600 meter. Meski begitu, lahan pinjaman ini hanya untuk tiga tahun penggunaan.
“Kami juga akan memaksimalkan lahan pinjaman lahan TPA Piyungan seluas 2.600 meter, tapi bentuknya cekung, jadi hanya seribuan meter yang bisa dimanfaatkan. Disana (pengolahannya) menggunakan mesin gibrig,” katanya.
Haryoko menyebut, pihaknya juga terus menggencarkan edukasi dan sosialisasi terhadap sumber-sumber penghasil sampah atau di hulu. Langkah ini digencarkan agar 100 ton sampah yang belum bisa terolah di tempat pengolahan, dapat diselesaikan di hulu.
“Memaksimalkan edukasi dan sosialisasi agar yang 100 ton ini jangan masuk ke areanya penanganan sampah, tapi diselesaikan oleh sumber sampahnya sendiri,” ungkapnya.
Selain itu, berbagai gerakan sampah juga dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Seperti Gerakan Zero Sampah Anorganik, yang mana dilakukan pemilahan sampah anorganik dari hulu dan diolah lewat bank sampah.
“Bank sampah sudah ada di seluruh RW, dan itu jadi senjata utama Gerakan Zero Sampah Anorganik. Diharapkan seluruh sampah ini bisa dikelola bank sampah,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Gerakan Organikkan Jogja juga terus dimasifkan di masyarakat dengan melakukan pengelolaan sampah yang salah satunya menggunakan metode biopori. Dengan metode ini, bahkan sudah menyasar kurang lebih 20 ribu kepala keluarga (KK) di Kota Yogyakarta.
“Gerakan Organikkan Jogja ini untuk menghabisi seluruh sampah organik yang berasal dari rumah tangga, atau sumber-sumber lain yang sumber awal. Jadi gerakan ini spesifik dengan proses composting menggunakan biopori,” kata Haryoko.
Guru Besar Fakultas Teknik Kimia UGM, Chandra Wahyu Purnomo mengatakan, penyelesaian persoalan sampah perlu dilakukan dari hulu hingga hilir. Dengan begitu, masyarakat, pemerintah, hingga swasta harus terlibat dalam penanganan sampah di Kota Yogyakarta.
Tidak hanya itu, Chandra juga menekankan terkait pengelolaan sampah menggunakan teknologi. Menurutnya, pengelolaan sampah berbasis depo merupakan cara lama yang justru bukan menjadi solusi, malah menjadi masalah karena mengajarkan masyarakat untuk membuang sampah, tidak mengelola sampah.
“Kita harus mengarah ke pengolahan sampah yang modern menggunakan teknologi. Depo memang sumber masalah, jadi harus disiapkan teknologi,” kata Chandra.
Praktisi Pemberdayaan Masyarakat, Andi Purnawan Putra justru menekankan persoalan sampah di Kota Yogyakarta dikarenakan masih rendahnya kesadaran masyarakat. Menurutnya, tokoh agama hingga tokoh pendidikan juga harus berkontribusi dalam penanganan sampah di Kota Yogyakarta.
“Tokoh agama dan pendidik yang saya garis bawahi. Kenapa? Dia penjaga gerbang moralitas. Dia harusnya memberikan kontribusi yang lebih jelas, dan signifikan,” kata Andi.
Meski begitu, Andi menegaskan, seluruh elemen masyarakat tetap harus bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan. “Semua harus bertanggung jawab, masyarakat punya tanggung jawab membuang sampahnya, pemerintah bertanggung jawab mengelola sampah, UMKM-UMKM juga harus bertanggung jawab, produsen juga punya tanggung jawab yang sama,” jelasnya.