REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemda DIY meluncurkan purwarupa Alat Pembakar Sampah karya Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) DIY, Jumat (14/2/2025). Incinerator tersebut dikatakan mampu membakar sampah sebanyak 218 kilogram per jam.
Sekda DIY, Beny Suharsono mengatakan, incinerator ini merupakan salah satu langkah nyata untuk menjawab tantangan lingkungan yang semakin kompleks. “Inovasi ini menjadi wujud nyata kepedulian kita terhadap keberlanjutan lingkungan, memastikan bahwa kemajuan yang kita capai, bukanlah kemajuan yang mereduksi peran alam,” kata Beny dalam keterangannya.
Dikatakan, jenis burner pada purwarupa alat pembakar sampah itu bermodel boiler dengan combustion chamber, berbentuk reducer concentric dengan bahan bakar utama oli bekas. Sedangkan, ruang pembakarannya berupa wiremesh basket (M4), dengan bagian bawahnya menggunakan stainless steel ring bertingkat, penampang Ø8 mm dan bagian luar dilapisi fire brick.
Untuk sisi keluaran asap dari cerobong asap diarahkan ke spray tube (sirkulasi menggunakan pompa air) yang berfungsi untuk mencuci asap pembawa material berat, sehingga material berat akan keluar bersama basuhan air. Asap yang telah dilakukan pembasuhan akan diarahkan keluar melalui blower hisap (Ø 4 inch) yang berfungsi untuk menstabilkan aliran asap.
Beny menyebut, alat ini terdiri atas tiga bagian utama, mulai dari boiler berbahan bakar oli bekas, sistem kerja berupa penyemprotan uap panas bertekanan ke dalam ruang bakar, dan dialirkan pada pipa berjenis reducer concentric. Burn Barrel bertipe cylindrical basket dilapisi fire brick dan dipasang dinding persegi di luarnya. Sementara, Smoke Barrel Treatment berfungsi mengurangi polusi asap dengan cara memisahkan material berat yang terkandung dalam asap hasil pembakaran menggunakan system water spraying.
Purwarupa Alat Pembakar Sampah ini juga diluncurkan bersamaan dengan peluncuran logo HUT DIY ke-270. Untuk peluncuran logo HUT DIY ke-270, diusung tema “Jogja Tumata Tuwuh Ngrembaka” yang menggambarkan esensi perjalanan DIY.
Tema tersebut menggambarkan tiga aspek penting dalam perkembangan Yogyakarta yaitu "Tumata" yang berarti tertata, "Tuwuh" yang berarti tumbuh, dan "Ngrembaka" yang berarti berkembang.
"HUT ini bukan sekadar merayakan usia, tetapi menegaskan arah pembangunan yang jelas. Yogyakarta tidak hanya bertumbuh, namun berkembang dengan kesadaran kolektif dari masyarakatnya," ujar Beny.
Dikatakan, tema "Jogja Tumata Tuwuh Ngrembaka" mencerminkan filosofi yang mendalam tentang perjalanan DIY. "Tumata" (tertata) menandakan bahwa Yogyakarta terus menata diri dengan bijaksana, berlandaskan nilai luhur dan filosofi yang telah diwariskan leluhur.
Penataan mencakup berbagai bidang, mulai dari tata kota hingga kesejahteraan sosial, yang mendukung harmoni dan keberlanjutan. "Tuwuh" (tumbuh) menunjukkan bahwa Yogyakarta terus berkembang pesat dalam berbagai aspek, seperti pendidikan, ekonomi kreatif, dan inovasi, yang berpijak pada kekayaan budaya.
Sementara itu, katanya, “Ngrembaka" (berkembang) melambangkan kemajuan dan kesejahteraan yang semakin meningkat. Yogyakarta tumbuh dan berkembang pesat, membawa harapan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Logo yang diluncurkan menggambarkan semangat Yogyakarta yang terus menjaga tradisi sambil beradaptasi dengan kemajuan zaman. Dengan warna hijau dan kuning, yang dikenal sebagai "pare anom", logo ini merepresentasikan kekayaan alam dan budaya Yogyakarta. Ikon Jatilan, yang terintegrasi dalam desain logo, menjadi simbol dari budaya yang tak ternilai harganya, sebagai nafas kehidupan DIY.
Beny mengingatkan, rakyat adalah pelaku utama perubahan. Rakyat bukan sekadar penerima kebijakan, tetapi arsitek masa depan. Dengan keterlibatan aktif masyarakat, kita bisa mewujudkan Yogyakarta yang lebih baik.
“Masyarakat yang sejahtera tumbuh dari keberagaman aspirasi, ide, dan peran aktif setiap warganya,” jelas Beny.
Pada 13 Maret 2025 nanti, DIY berusia 270 tahun. DIY terus mengukuhkan posisinya sebagai daerah yang kaya akan sejarah dan budaya, serta dinamis, inklusif, dan siap menghadapi tantangan globalisasi tanpa kehilangan identitas.
Seluruh lapisan masyarakat diharapkan terus menjaga dan membangun Yogyakarta agar tetap menjadi tanah yang nyaman, lestari, dan sejahtera bagi semua. “DIY bukan sekadar bertahan, tetapi terus tumbuh dan berkembang. Bahwa kita bukan hanya penerus sejarah, tetapi juga pencipta masa depan,” kata Beny.