Senin 24 Mar 2025 12:09 WIB
Hikmah Ramadhan

Komunikasi dengan Empati, Bukan Sembarang Kata

Islam mengajarkan bahwa setiap ucapan memiliki konsekuensi.

Sinta Maharani
Foto: dokpri
Sinta Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kepala Biro Humas dan Protokol Unisa Yogyakarta, Sinta Maharani, S.Sos., M.I.Kom

Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan, di mana umat Islam diajak untuk menahan diri bukan hanya dari lapar dan haus, tetapi juga dari amarah dan perkataan yang menyakiti. Namun, di tengah suasana refleksi spiritual ini, kita justru sering dihadapkan pada fenomena komunikasi pejabat publik yang kurang mempertimbangkan empati dan etika berbahasa.

Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh pernyataan pejabat yang terkesan meremehkan atau bahkan memperolok situasi sensitif. Dari kasus pengiriman bangkai babi ke kantor media hingga pernyataan bahwa dagingnya bisa dimasak, hingga komentar yang menyebut atlet PSSI gizi buruk sebagai penyebab kekalahan. Pernyataan-pernyataan ini tidak hanya mencerminkan kurangnya kepekaan, tetapi juga memperlihatkan lemahnya pemahaman terhadap dampak komunikasi publik.

Padahal, Islam mengajarkan bahwa setiap ucapan memiliki konsekuensi. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

"Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)." (QS. Qaf: 18)

Ayat ini mengingatkan bahwa setiap perkataan, baik atau buruk, akan selalu dicatat dan memiliki dampak. Di era digital, di mana setiap kata bisa dengan cepat menyebar dan menimbulkan reaksi luas, para pejabat seharusnya lebih berhati-hati dalam berbicara. Ramadhan mengajarkan bahwa setiap ucapan harus penuh kebijaksanaan, mencerminkan kepedulian, bukan sekadar guyonan yang memperkeruh dan membuat gaduh suasana.

Empati dalam komunikasi publik pejabat bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga menunjukkan kepemimpinan yang baik. Seorang pemimpin atau pejabat publik yang bijak tidak akan melontarkan pernyataan yang justru menambah polemik, tetapi sebaliknya, membangun dialog yang solutif dan menenangkan masyarakat.

Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)

Seharusnya, momentum Ramadhan bisa menjadi refleksi bagi pejabat publik untuk lebih mengedepankan kepekaan sosial dalam setiap ucapannya. Kata-kata yang penuh empati dan pemahaman akan lebih dihargai daripada komentar asal yang hanya menimbulkan kegaduhan. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pintar berbicara, tetapi juga mampu merasakan apa yang dirasakan rakyatnya.

Pada akhirnya, Ramadhan bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari perkataan yang menyakiti. Dan mungkin, inilah saat yang tepat bagi pejabat publik untuk belajar berbicara dengan lebih bijak bukan hanya di bulan Ramadhan, tetapi dalam setiap momen kepemimpinan mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement