REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Meskipun Revisi Undang-Undang (RUU) TNI menimbulkan banyak polemik publik, DPR RI tetap mengesahkan RUU TNI menjadi undang-undang. Pengesahan ini dilakukan lewat sidang paripurna di Gedung DPR RI pada Kamis (20/3/25) pekan lalu.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ibnu Sina Chandranegara memandang pengesahan ini memunculkan dua persoalan utama yakni persoalan transparansi dan melemahnya supremasi sipil.
”Kewajiban untuk adanya eksplanasi terhadap materi aturannya tidak mendapatkan ruang yang cukup,” ujar Guru Besar muda Fakultas Hukum UMJ saat diwawancarai pada Senin (24/3/2025).
Menurutnya, proses pengesahan ini berpotensi mengulangi pola yang sama seperti pada undang-undang lain yang juga pengesahannya dengan partisipasi publik yang minim. Contohnya pemerintah mengabaikan kewajiban untuk memberikan penjelasan atas norma-norma yang diatur dalam revisi UU TNI.
“Kewajiban ini telah diamanatkan oleh Putusan MK No. 91 serta diatur dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” jelasnya.
Ibnu menerangkan bahwa salah satu aspek perubahan dalam UU TNI memang merupakan tindak lanjut atas Putusan Nomor 62/PUU-XIX/2021 yang memerintahkan penyesuaian usia pensiun. Namun menurutnya dengan pengesahan RUU TNI ini menimbulkan persoalan lain dengan adanya ketentuan tentang perluasan penempatan militer aktif di organ dan jabatan sipil, yang justru berpotensi mengikis prinsip supremasi sipil.
“Masalah yang mendasar dari revisi UU TNI ini juga dimaksudkan sebagai pembenaran secara legalitas atas berbagai tindakan perluasan militer aktif yang menjabat dalam jabatan sipil yang telah ada sebelumnya (ex factum). Ini jelas persoalan mendasar dalam negara hukum kita,” kata dia.
Ibnu menjelaskan bahwa jika perluasan tersebut tetap dilakukan, revisi terhadap UU Peradilan Militer juga perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk menegaskan batas yurisdiksi peradilan militer, sehingga tidak mencakup anggota militer yang menempati posisi baru sebagaimana diatur dalam revisi UU TNI. Dengan demikian, kasus yang melibatkan mereka dapat diproses melalui peradilan umum.
Meski banyak pihak menilai bahwa pengesahan RUU TNI ini seperti mengulang era Orde Baru, Ibnu berpendapat bahwa hal tersebut belum sepenuhnya terjadi—kecuali jika konstitusi benar-benar diubah kembali seperti pada masa tersebut.
“Arah-arah mengembalikan keadaan ke masa orde baru tetap menjadi hal hal yang perlu diantisipasi dan dihindari dengan memberikan kadar partisipasi yang optimal dalam pembentukan undang-undang,” kata Ibnu.