Jumat 11 Apr 2025 13:39 WIB

Ikadi: Syawal Momen Penguatan Silaturahim dan Perayaan Kearifan Lokal

Momentum Syawal bisa diinternalisasi untuk menyempurnakan ibadah yang telah dilakukan

Ketua  Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi)Prof Dr  KH  Achmad Satori Ismail.
Foto: Dok STEI SEBI
Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi)Prof Dr KH Achmad Satori Ismail.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai tradisi dan kearifan lokal selalu mewarnai bulan Syawal pasca Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriyah di Indonesia. Momentum pasca Idul Fitri, dirayakan melalui Umat Muslim di Indonesia dengan berbagai lanskap kebudayaan di berbagai pelosok negeri. Misalnya ada momentum Grebek Syawal di Yogyakarta, Perang Topa di Lombok, Lebaran ketupat, dan lain-lain.

Ketua Dewan Syuro Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Prof Achmad Satori Ismail, mengungkapkan maraknya berbagai tradisi itu menjadi bukti keberagaman masyarakat Indonesia dalam merayakan perayaan Idul Fitri.

“Inilah bentuk keberagaman identitas bangsa Indonesia yang patut dijaga dan disyukuri. Selama hal tersebut dapat bermanfaat, tidak mengandung unsur kesyirikan takhayul, maka secara agama itu diperbolehkan,” ujar Kiai Satori di Jakarta, Jumat (11/4/2025).

“Syawal di mana ada orang bagi-bagi makanan dan segala macam dengan tujuan, selama tidak mengandung kesyirikan, maka insya Allah itu dibolehkan," katanya

Lebih lanjut, Satori mengungkapkan bahwa adanya tradisi mendoakan orang yang sudah meninggal, berziarah, mengundang orang lain untuk silaturahim, berdoa bersama, adalah bentuk keindahan yang harus dijaga, dan dihormati bukan malah untuk dihujat atau dihakimi.

“Selama tujuannya bukan untuk mengagungkan si mayit atau untuk menyembah yang lain, tetapi sebagai sarana kebersamaan untuk makan bersama, bisa membawa berkat ke rumah, itu adalah sesuatu yang sebenarnya indah," kata Satori.

Oleh karena itu, penulis buku Merajut Tali Temali Ukhuwwah ini menyerukan momentum bulan Syawal ini dapat diinternalisasi untuk menyempurnakan ibadah-ibadah yang sudah dilakukan secara konsisten di Bulan Ramadan, dengan silaturahim dan saling memaafkan.

Seorang muslim, Satori menambahkan, sejatinya memiliki keikhlasan untuk saling memaafkan, maupun kelapangan dada dalam memahami perbedaan. Inilah esensi bulan Syawal dalam menyempurnakan ibadah, yakni untuk menggapai keberuntungan dunia akhirat melalui upaya saling memaafkan.

Lelaki kelahiran Cirebon, 6 Desember 1955 ini berpendapat, Syawal adalah momen yang tepat untuk saling introspkesi, saling membersihkan hati dari segala benci, perselisihan, maupun perbedaan, baik perselisihan politik, mahzab maupun perbedaan agama.

Menurutnya, hal ini adalah bentuk aktualisasi bulan Ramadhan, dengan saling menghormati dam menjaga kepedulian terhadap sesama. Membangun empati tanpa harus melihat identitas suku, ras atau agama.

“Sehingga kita kembali kepada fitrah, bersih, dalam artian jiwa dan jasmani kita bersih,” ucap Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

"Karena Islam itu rahmat bagi seluruh alam, menjadi kasih sayang dan penebar kasih sayang untuk seluruh alam. Bukan hanya kepada Muslim saja," kata Kiai Satori.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement