Ahad 20 Apr 2025 06:05 WIB

Marak Kasus Kekerasan Seksual Dokter, Dirut RSA UGM Ingatkan Kode Etik Nakes

Etika bukan hanya menjadi pembelajaran sesaat yang selesai begitu kuliah usai.

Rep: Wulan Intandari/ Red: Fernan Rahadi
Direktur Utama Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM, dr Darwito
Foto: Wulan Intandari
Direktur Utama Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM, dr Darwito

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Setelah dikejutkan oleh pemberitaan mengenai dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang oknum peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di salah satu RS di Bandung terhadap keluarga pasien, kini publik kembali dikejutkan dengan kasus seorang dokter kandungan berinisial MSF di Garut, Jawa Barat yang juga melakukan pelecehan terhadap pasiennya.

Peristiwa ini menjadi pukulan berat bagi dunia kesehatan apalagi masyarakat perlahan hilang kepercayaan terhadap layanan medis yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan pemulihan di kala sakit. Menanggapi situasi ini, Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM) ikut buka suara.

Dirut RSA UGM, dr Darwito tak menampik bahwa kasus ini menyoroti pentingnya penguatan sistem perlindungan pasien, serta evaluasi menyeluruh terhadap pola pembinaan dan pengawasan tenaga medis, termasuk mereka yang tengah menjalani pendidikan spesialis. Dia mengingatkan tanggung jawab besar dalam membentuk tenaga medis yang tidak hanya unggul secara klinis, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan profesionalisme.

Proses seleksi PPDS di institusinya tidak hanya mengukur aspek akademik tetapi juga integritas kepribadian.

"Seleksi itu tidak berhenti pada nilai akademik. Setelah ujian keilmuan, ada juga tes psikologi seperti MMPI dan wawancara yang bertujuan menggali karakter,” kata Dirut RSA UGM, dr Darwito, Sabtu (19/4/2025).

Darwito menyampaikan peserta PPDS dibekali kuliah umum yang salah satu topiknya adalah etika kedokteran di awal masa pendidikan. Materi ini bertujuan memberikan landasan awal tentang prinsip-prinsip moral yang harus dipegang oleh calon dokter spesialis dalam menjalankan profesinya.

Namun menurutnya, etika bukan hanya menjadi pembelajaran sesaat yang selesai begitu kuliah usai. Justru nilai-nilai etis harus terus ditanamkan, dilatih, dan dijalankan sepanjang masa pendidikan klinis.

"Dalam dunia medis yang kompleks dan penuh tekanan, sikap etis tidak bisa lahir secara instan, melainkan perlu dibentuk melalui proses panjang, interaksi nyata dengan pasien, serta pembimbingan dari para pendidik yang konsisten memberi teladan ini adalah proses lifelong learning,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, pendidikan etika harus menjadi bagian yang menyatu dalam keseharian residen, dari awal hingga akhir masa studi, bahkan hingga mereka nantinya menjalani praktik mandiri sebagai dokter spesialis. Dalam hal ini, Darwito menyoroti peran dosen dan dokter penanggung jawab pasien (DPJP) menjadi sangat penting sebagai pembimbing sekaligus teladan.

Ia membeberkan bahwa dalam praktiknya, RSA UGM telah menerapkan sistem pendidikan berjenjang dengan supervisi ketat. Para residen akan menjalani tahapan merah, kuning, dan hijau, mulai dari tahap observasi hingga mandiri dengan pengawasan dari DPJP di setiap tahapannya. Evaluasi terhadap aspek etik dan komunikasi juga dilakukan oleh DPJP sebagai penilai utama performa residen. “

"Tahap merah belum boleh memegang pasien. Kuning boleh tapi masih dibimbing. Hijau baru bisa mandiri. Semua tetap dalam pengawasan DPJP," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement