Rabu 30 Apr 2025 17:03 WIB

Bima Dilematis, Antara Rimpu, Media Sosial, dan Tanggung Jawab Moral

Kita tidak bisa hanya diam. Kita harus memilih.

Mufidah
Foto: dokpri
Mufidah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mufidah*

Media sosial hari ini menjadi panggung segala hal dari informasi penting hingga tren yang kadang membuat kita bertanya, “Mau ke mana arah kita?” Sayangnya, tidak semua tren membawa kebaikan, terutama ketika diserap mentah-mentah tanpa filter oleh generasi muda.

Belakangan ini, jagat maya heboh dengan tren "buka baju dari belakang" di pantai. Video-video itu bertebaran di Facebook, TikTok, termasuk dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), sebuah daerah yang selama ini dikenal kuat menjaga nilai Islam dan budayanya.

Tren membuka aurat di ruang publik ini sungguh bertolak belakang dengan karakter masyarakat Bima yang menjunjung tinggi kesopanan dan kehormatan. Ini bukan sekadar soal dosa individu. Dalam budaya kita yang kental dengan nilai kekeluargaan, satu perbuatan bisa membawa nama daerah, bisa memudarkan identitas kita bersama.

Bima pernah begitu dikenal dengan kekuatan Islaminya. Buya Hamka, ulama besar Indonesia, bahkan pernah menulis:

"Bima adalah daerah yang kuat dengan Islam, adatnya tunduk kepada syariat, dan rakyatnya mudah terharu oleh kalam-kalam Tuhan. Jika ingin belajar Islam, pergilah ke Bima."

Warisan itu bukan sekadar cerita masa lalu. Ia adalah jati diri yang dibangun dengan air mata, kerja keras, dan kecintaan mendalam kepada Tuhan dan adat.

Dalam konteks ini, pendekatan Islam interdisipliner menjadi penting. Teori Islam interdisipliner mengajarkan bahwa Islam tidak hanya dipahami sebatas ritual-ritual ibadah formal, tapi juga sebagai prinsip yang mengatur seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, teknologi, bahkan seni. Artinya, perkembangan dunia modern seperti media sosial harus dihadapi bukan dengan menolaknya, tetapi dengan memberikan kerangka nilai Islami agar modernitas tidak mencabut akar keimanan dan budaya kita.

Fenomena ini membuktikan perlunya integrasi antara nilai Islam, budaya lokal, dan pemahaman sosial-kritis terhadap media. Remaja Bima tidak cukup hanya diajarkan haram dan halal, tapi juga mengapa sebuah perbuatan berdampak pada harga diri komunitas mereka. Islam harus dihadirkan bukan sekadar dalam bentuk larangan, tetapi sebagai panduan etis dalam bermedia dan berperilaku di ruang publik.

Di tengah guncangan modernitas ini, masyarakat Bima memiliki simbol budaya luar biasa, rimpu. Rimpu adalah pakaian dari dua lembar sarung tenun yang digunakan untuk menutup kepala, wajah, hingga tubuh. Lebih dari sekadar busana, rimpu adalah pernyataan tentang kehormatan, iman, dan harga diri perempuan Bima.

Dahulu, perempuan Bima berlomba-lomba menenun kain sendiri untuk bisa merimpu. Mereka bangga menjaga aurat tidak karena terpaksa, tapi karena itu bagian dari siapa mereka.

Namun realitas hari ini berbicara lain. Baru-baru ini akun Facebook InsideMbojo mengunggah video lima remaja perempuan Bima yang membuka baju dari belakang di pantai. Caption-nya pendek tapi menggigit.

"Beul betul akhir zaman, nauzubillah."

Komentar-komentar pun membanjiri unggahan tersebut. Banyak yang mengingatkan soal falsafah hidup orang Bima "Maja Labo Dahu" malu berbuat dosa dan takut kepada Tuhan. Kritik deras mengalir bukan karena anti modernitas, tapi karena cinta terhadap nilai yang diwariskan para leluhur. Ironisnya, semakin banyak yang mengkritik, semakin banyak pula video serupa bermunculan demi like, demi view, demi popularitas semu.

Hingga beberapa anak muda yang merasa warisan leluhurnya ternodai, Pada 26 April 2025, ratusan mahasiswa asal Bima dan Dompu di Yogyakarta mengadakan Pawai Rimpu. Mereka berjalan dari depan Gedung DPRD DIY menuju kawasan 0 Kilometer, mengenakan aneka sarung tenun Bima yang berwarna-warni dan indah.

Lebih dari 100 orang bergabung. Jalanan Yogyakarta sore itu dipenuhi oleh semangat anak-anak Bima yang ingin berteriak kepada dunia. "Kami masih ada. Kami bangga menjadi Bima. Kami bangga merimpu."

Hal yang sama dilakukan oleh ribuan masyarakat Bima, pada tanggal yang sama mereka pawai yang bernama Festival rimpu mantika, bukti penolakan mereka terhadap suatu tren yang merusak moral Bima. Yang juga dipuji oleh Kemenekraf dalam tulisan yang dimuat oleh salah satu media daring.

"Ini membuktikan bahwa Festival Rimpu Mantika bukan hanya milik daerah, tetapi juga menjadi kebanggaan nasional," ungkap Rohani, salah satu perwakilan Kemenekraf.

Tak ketinggalan, Pemerintah Kota Bima pun menyatakan sikapnya melalui Wali Kota Bima dalam wawancara resmi. "Warisan leluhur seperti rimpu bukan sekadar pakaian, melainkan nilai yang harus dijaga. Perempuan Bima wajib menaati warisan ini sebagai bentuk penghargaan dan cinta terhadap budaya kita. Kami tidak ingin generasi muda melupakan siapa mereka sebenarnya."

Pawai ini bukan hanya soal budaya. Ini adalah bentuk dakwah kultural menghadirkan Islam dan kearifan lokal dalam bentuk yang estetis, membanggakan, dan tetap relevan di zaman sekarang. Ini sejalan dengan spirit Islam interdisipliner, yang tidak memisahkan agama dari perkembangan sosial, budaya, dan media, melainkan merangkulnya dengan prinsip-prinsip luhur.

Bima bukan sekadar nama. Ini tanah yang melahirkan qori dan qoriah nasional bahkan internasional. Ini tanah yang sejak dulu, dalam diamnya, selalu punya hubungan intim dengan Kalamullah.

Memang, kita tidak bisa mengontrol semua tren yang masuk lewat ponsel. Di banyak tempat, pantai memang identik dengan pakaian terbuka. Tapi Bima punya sejarah sendiri. Bima punya rimpu. Bima punya "Maja Labo Dahu."

Itu sebabnya, kita tidak bisa hanya diam. Kita harus memilih. Mau hanyut tanpa arah, atau berdiri tegak mempertahankan warisan yang telah menghidupi jiwa kita berabad-abad lamanya.

Karena menjadi Bima, bukan hanya soal tempat lahir. Menjadi Bima adalah soal menjaga warisan jiwa.

 

*Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement