REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Setiap 1 Mei, jalanan kota berubah menjadi panggung solidaritas, tak terkecuali di Kota Yogyakarta. Ribuan buruh yang terdiri atas komunitas mahasiswa, organisasi sipil, dan serikat pekerja di Yogya itu ikut menggelar aksi May Day, Kamis (1/5/2025).
Aksi tersebut terpusat pada kawasan Tugu Yogyakarta, Malioboro hingga Titik Nol Kilometer. Dari pantauan Republika di lokasi, sejumlah spanduk dan poster dibawa sepanjang melakukan longmarch aksi ini. Mereka menyuarakan apa yang menjadi kegelisahan para buruh selama bekerja. Selain itu juga menyoroti berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada pekerja buruh.
Beberapa di antaranya bertuliskan 'Mayday bukan hari libur, turun ke jalan dan tuntut hak kita!', 'Buruh bersatu, naikkan upah buruh 50%, perumahan untuk buruh', 'Busway gratis untuk buruh', 'pendidikan gratis untuk anak buruh' dan masih banyak lagi.
"Hari buruh bukan acara yang sifatnya happy-happy tanpa perjuangan sehingga kemudian aksi ini adalah sebuah antitesis, lawan dari aksi buruh yang hanya gobak sodor, lomba sepak bola dan cerdas cermat," kata Koordinator MPBI DIY Irsad Ade Irawan, Kamis (1/5/2025).
Irsad mengatakan ada 13 tuntutan yang disampaikan dalam aksi May Day ini, termasuk menyoroti kebijakan negara yang lebih banyak menguntungkan pemilik modal, sedangkan suara-suara seruan rakyat bawah masih banyak diabaikan. Oleh karenanya, para buruh menuntut rezim Prabowo Subianto segera merevisi UU Ketenagakerjaan Sesuai Amanat Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebab MK telah menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional, apalagi hingga hari ini, Pemerintah justru merevisi Undang Undang yang tidak begitu mendesak, seperti misal UU TNI dan UU POLRI .
"Pemerintah sampai saat ini belum melakukan pembahasan (revisi UU Ketenagakerjaan), mereka malah merevisi UU TNI dan Polri, Kami menuntut DPR dan pemerintah segera merevisi UU Naker secara menyeluruh dan partisipatif, sesuai amanat MK dan kehendak rakyat pekerja, bukan atas titah oligarki," ucapnya.
Selain itu, para buruh juga menuntut segera disahkannya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). UU dinilai ini penting karena pekerja rumah tangga selama ini dipinggirkan dan dieksploitasi tanpa perlindungan hukum. Dia juga menyampaikan hidup para buruh yang semakin tercekik oleh upah rendah, ketidakpastian kerja, mahalnya biaya hidup, dan hukum yang tidak berpihak.
"Kami menuntut pengesahan segera RUU PPRT sebagai bentuk keadilan bagi jutaan pekerja, mayoritas perempuan, yang selama ini terpinggirkan," ungkapnya.
"Warga miskin kota terus digusur atas nama pembangunan. Para pekerja digital dan kreatif terus dibiarkan tanpa perlindungan. Ini bukan kemajuan. Ini adalah pemiskinan yang disengaja," kata dia, menambahkan.
Sementara itu, Ketua DPD KSPSI DIY, Kirnadi menyampaikan para buruh menuntut kenaikan upah minimum mencapai 50 persen. Kenaikan upah tersebut perlu dilakukan karena harga kebutuhan pokok di DIY semakin meningkat.
"Upah hari ini hanya dihitung berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan kebutuhan pokok itu tidak selinier dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi," katanya.
"Kami sudah melakukan survei (kebutuhan hidup layak/KHL) pada lima kabupaten/kota. Kami menghasilkan rata-rata hampir Rp 4,5 juta upah yang layak bagi pekerja atau buruh," ucap dia, menambahkan.
Selain itu, para buruh juga menuntut sistem kerja outsourcing dan kontrak yang dinilai masih memberatkan pekerja. Menurutnya, status kepegawaian pekerja itu tidak menguntungkan bagi pekerja.
"Seluruh pekerja formal dan informal harus diberikan jaminan sosial. "Ini penting, tidak semua perusahaan menjamin jaminan sosial pekerjanya," ujarnya.