Selasa 27 May 2025 09:49 WIB

Refleksi Hari Buruh: Menakar Kepedulian Negara pada Gizi dan Kesehatan Pekerja di Indonesia

Kesehatan dan kecukupan gizi pekerja bukan sekadar isu personal.

Muhammad Ridwan Ansari
Foto: dokpri
Muhammad Ridwan Ansari

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Ridwan Ansari, SGz, MGizi (Dosen Program Studi Gizi, FKM UAD)

Hari Buruh Internasional yang jatuh setiap 1 Mei menjadi momen penting untuk kembali menimbang sejauh mana negara hadir melindungi kesejahteraan pekerja. Sayangnya, isu yang seringkali luput dari sorotan adalah pemenuhan gizi dan kesehatan, padahal keduanya menjadi prasyarat utama bagi produktivitas dan keselamatan kerja.

Kesehatan dan kecukupan gizi pekerja bukan sekadar isu personal, tapi menyangkut produktivitas nasional. Pekerja yang sehat secara fisik dan mental akan bekerja lebih efektif, lebih produktif, dan minim risiko terhadap penyakit kronis seperti obesitas, diabetes, hingga penyakit jantung. Sebaliknya, abai terhadap pemenuhan gizi akan menambah beban negara, baik dari sisi beban pembiayaan kesehatan maupun menurunnya daya saing bangsa.

Sebuah studi yang saya lakukan baru-baru ini memetakan berbagai kebijakan nasional yang relevan terhadap pemenuhan gizi dan kesehatan pekerja di Indonesia. Hasilnya cukup menggembirakan, Indonesia sejatinya telah memiliki serangkaian regulasi yang mengatur aspek gizi dan kesehatan kerja. Penulis menemukan 13 kebijakan nasional yang berasal dari dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, hingga Surat Edaran Kementerian, ternyata sudah ada regulasi yang menyentuh berbagai aspek penting.

Mulai dari standar minimum kesehatan kerja, perlindungan hak menyusui bagi pekerja perempuan, kewajiban penyediaan kantin atau tempat makan para pekerja, subsidi makanan malam bagi pekerja shift malam, hingga pengaitan upah minimum yang harus diberikan kepada pekerja yang disesuaikan agar bisa memenuhi kebutuhan gizi sesuai dengan standar angka kecukupan gizi (AKG). Ini adalah fondasi awal yang patut diapresiasi.

Namun, dari semua kebijakan tersebut, hanya satu yang secara spesifik menyasar pekerja sektor informal. Padahal, data dari ILO menunjukkan bahwa lebih dari separuh tenaga kerja Indonesia berada dalam sektor ini—mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki lima, buruh harian, petani, atau pekerja pariwisata.

Salah satu bentuk upaya negara hadir dalam menjangkau sektor informal adalah melalui pendirian Pos Upaya Kesehatan Kerja (UKK). Konsep ini bertujuan menyediakan layanan promotif, preventif, dan kuratif sederhana berbasis masyarakat yang dikoordinasikan oleh Puskesmas. Namun, bagaimana implementasinya di lapangan?

Penulis dan tim juga telah melakukan peninjauan terhadap hasil studi evaluatif atas keberadaan Pos UKK di sebuah kawasan wisata di Bantul, DIY. Kawasan ini menjadi salah satu destinasi unggulan dengan jumlah kunjungan wisatawan yang tinggi, namun juga menyimpan berbagai risiko kesehatan bagi pekerjanya: dari bahaya biologis seperti gigitan hewan liar, kecelakaan karena jalur licin, hingga risiko kecelakaan kerja yang tinggi.

Sayangnya, hasil evaluasi menunjukkan bahwa Pos UKK di wilayah ini masuk dalam kategori "kurang aktif" bahkan cenderung "tidak aktif". Dari lima lokasi wisata yang menjadi subjek penelitian tidak satu pun memenuhi standar minimal keberhasilan Pos UKK seperti yang diamanatkan Permenkes Nomor 100 Tahun 2015.

Dari hasil kajian secara kualitatif, jumlah kader kesehatan yang aktif di tiap pos hanya satu orang, jauh dari standar minimal 10 persen dari jumlah pekerja. Aktivitas promotif-preventif seperti pelatihan P3K, CHSE, atau pemeriksaan kesehatan dilakukan hanya satu kali dalam setahun. Sarana fisik seperti ruang UKK pun nyaris tak tersedia, hanya kotak P3K yang ditempatkan di beberapa lokasi. Bahkan ketika terjadi insiden seperti gigitan kalajengking, pekerja membawa korban ke “orang pintar” alih-alih fasilitas kesehatan resmi.

Pelaporan kegiatan memang dilakukan melalui sistem SITKO Kemenkes, namun data tersebut tidak pernah digunakan sebagai dasar evaluasi atau perbaikan program. Anggaran khusus pun nyaris tidak tersedia; kegiatan UKK kerap bergantung pada kolaborasi dengan program lain seperti Posbindu. Masalah lainnya adalah kurangnya pelatihan bagi pengelola Pos UKK, baik di tingkat puskesmas maupun kader di lapangan. Tidak heran bila implementasi lebih bersifat simbolik ketimbang fungsional. Ini mencerminkan persoalan struktural dalam manajemen SDM dan pembagian tugas di fasilitas kesehatan tingkat pertama.

Pekerja sektor informal di area penelitian ini adalah bagian dari denyut nadi pariwisata dan ekonomi lokal. Ketika mereka tidak mendapat perlindungan kesehatan dan gizi yang memadai, negara sedang mempertaruhkan keselamatan, produktivitas, bahkan citra sektor wisata yang digadang-gadang sebagai motor penggerak ekonomi pasca-pandemi.

Momentum Hari Buruh ini harus menjadi titik balik. Pemerintah perlu memperkuat Pos UKK, bukan hanya sebagai simbol regulatif, tapi sebagai sarana nyata perlindungan pekerja informal. Ini bisa dilakukan melalui peningkatan anggaran, pelatihan fasilitator partisipatif, serta kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan dinas pariwisata, kehutanan, hingga lembaga swadaya masyarakat.

Perusahaan dan pengelola wisata juga harus dilibatkan aktif dalam pengembangan Pos UKK sebagai bagian dari komitmen terhadap keselamatan dan kesejahteraan tenaga kerja. Jika negara ingin serius membangun ekonomi dari bawah, maka pekerja informal harus diperlakukan setara: mereka juga berhak atas gizi layak, lingkungan kerja aman, dan perlindungan kesehatan yang sistematis.

Maka dari itu, mari kita rayakan Hari Buruh tidak hanya dengan spanduk dan pidato, tapi dengan komitmen nyata memperkuat infrastruktur perlindungan pekerja. Karena buruh yang sehat adalah buruh yang kuat, dan buruh yang kuat adalah bangsa yang bermartabat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement