Kamis 19 Jun 2025 11:38 WIB

Eks Napiter Tekankan Perlunya Nalar Kritis Tanggapi Konflik di Timur Tengah

Arif mengemukakan pola narasi yang kerap dimainkan kelompok garis keras.

Arif Budi Setyawan atau yang biasa disapa Arif Tuban.
Foto: dokpri
Arif Budi Setyawan atau yang biasa disapa Arif Tuban.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik global di Timur Tengah yang terjadi belakangan ini antara Iran dan Israel, Palestina dan Israel, India dan Pakistan, serta konflik Suriah menyita perhatian publik. Beragam narasi muncul kepermukaan guna saling mencari simpati. Namun alih-alih mencari simpati, konflik global juga kerap dimanfaatkan oleh kelompok garis keras untuk menyebarkan ideologi, propaganda, perekrutan hingga pengumpulan donasi. 

Mantan narapidana terorisme (napiter), Arif Budi Setyawan, mengungkapkan kesalahannya pada masa lalu membuat dirinya lebih bijak dalam menanggapi sebuah isu. Oleh karena itu, Arif menekankan perlunya masyarakat berfikir kritis dalam menanggapi isu-isu global. Menurutnya, konflik di Timur Tengah, bukan semata karena agama, melainkan ada kepentingan lain seperti ideologi, ekonomi, politik dan sebagainya. 

“Perang itu pasti punya motif politik dan ekonomi. Perang itu butuh energi, butuh pasukan, dan butuh motivasi yang kuat. Dan motivasi agama memang sering digunakan untuk menggerakkan orang untuk berperang,” ujar Arif, Rabu (18/6/2025).

Sosok yang pernah menjadi pembicara terkait penanggulangan ekstremisme dan terroisme dalam acara South-East Asia Nations-Civil Society Organization (SEAN-CSO) In The Post Covid-19 Environment Workshop, di Manila, Filipina tahun 2022 ini mengatakan bahwa masyarakat perlu mencermati narasi dan tujuan yang dibangun oleh kelompok garis keras. 

Menurut Arif, masih adanya narasi ekstrem di media sosial yang berpotensi memecah belah masyarakat. Misalnya menghardik, memusuhi, mengkafirkan orang lain yang tidak sependapat. Tentunya ini akan berpotensi terjadinya polarisasi di masyarakat yang berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Narasi itu ke mana arahnya? Tidak serta merta langsung mengiyakan, menyetujui, tapi berpikir kritis dengan mempertanyakan apa akan berdampak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?” ujar pria 43 tahun asal Tuban, Jawa Timur, tersebut.

Mantan simpatisan Jamaah Islamiyah ini mengemukakan pola narasi yang kerap dimainkan oleh kelompok garis keras. Narasi yang dibangun sering kali menyederhanakan konflik menjadi pertarungan hitam-putih, sehingga menutup ruang untuk analisis yang jernih dan dialog yang konstruktif, apalagi mengaburkannya dengan pemahaman agama untuk memicu polarisasi sosial. Misalnya, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan kelompok pendukungnya akan membawa narasi konflik global ke arah penegakkan syariat atau pendirian negara Islam. Kemudian, kelompok mantan Jamaah Islamiyah akan membawa narasi konflik ini sebagai peluang untuk membangun jihad global.  

“Misalnya ISIS, meskipun menggunakan narasi agama, tujuannya tidak murni untuk membela Islam, tetapi lebih kepada penguasaan wilayah dan kekuasaan global. Ini adalah bagian dari permainan politik internasional,” kata Arif yang kini aktif menulis untuk pencegahan ekstremisme dan terorisme. 

Oleh karena itu, penulis buku Internetistan Jihad Zaman Now ini menekankan kewaspadaan dalam bertindak di tengah masifnya informasi di media sosial. Arif mengklaim, boleh untuk memiliki sikap dan pandangan terhadap suatu isu, menaruh simpati dan memberikan donasi. Namun masyarakat perlu juga menyelaraskan pandangan politik resmi negara dan melakukan donasi kepada lembaga yang terverifikasi. 

“Karena konflik antar negara jika disikapi secara individu, kemudian mengirimkan kader, bisa jadi nanti terjebak seperti fenomena ISIS," kata Arif.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement