REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir menyampaikan refleksi mendalam di momen peringatan kemerdekaan Indonesia yang telah menginjak usia 80 tahun pada Ahad (17/8/2025). Menurutnya, HUT RI bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan merupakan mandat sejarah yang mesti terus diperjuangkan.
Ia menyampaikan rasa syukur atas berbagai pencapaian yang telah diraih bangsa Indonesia sejak kemerdekaan. Kemajuan di berbagai sektor ini dinilainya menjadi sumber optimisme bagi masa depan negeri.
"Alhamdulillah dalam perjalanan 80 tahun Indonesia Merdeka, terdapat banyak kemajuan di berbagai bidang kehidupan. Pendidikan, Kesehatan, Sosial, Politik, Ekonomi, kehidupan Beragama, dan dimensi kehidupan lainnya memberi banyak harapan bagi masa depan Indonesia," ujarnya, Ahad.
Haedar turut mengapresiasi arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang dinilainya memiliki kemauan politik (political will) kuat dalam melakukan reformasi dan memperjuangkan keberpihakan pada rakyat. Ia berharap, komitmen presiden ini tidak berhenti sebagai wacana politik, tetapi bisa benar-benar terimplementasi dalam sistem birokrasi secara menyeluruh.
Keberhasilan, katanya, sangat bergantung pada sinergi dan keselarasan antarlembaga negara. "Patut diapresiasi political will Presiden Prabowo Subianto yang fokus pada pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas, mendorong para pengusaha besar agar peduli bangsa, memihak sepenuhnya rakyat kecil, menegakkan kedaulatan bangsa, serta terobosan kebijakan lainnya berbasis Asta Cita," kata Haedar.
Di balik capaian itu, Haedar juga menyampaikan refleksi kritis atas realitas bangsa yang belum lepas dari berbagai paradoks dan tantangan serius. Menurutnya, praktik penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan dominasi elite dalam politik dan ekonomi menjadi bayang-bayang kelam di balik perayaan kemerdekaan.
Haedar mengingatkan kemerdekaan yang diperoleh dari pengorbanan besar rakyat, tidak boleh dinodai “salah kaprah dan ajimumpung” dalam pengelolaan negara. Ia menyebut penyimpangan kekuasaan dan penghamburan sumber daya negara adalah bentuk ironi menyakitkan dalam kehidupan berbangsa.
"Ketika terjadi berbagai penyalahgunaan dalam praktik berbangsa bernegara, justru 80 tahun Indonesia merdeka jelas paradoks luar biasa," ucapnya.
"Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, oligarki politik dan ekonomi, pengurasan sumberdaya alam, pemberian konsesi kepada pihak asing yang merugikan kepentingan negara sendiri. Padahal di masa lalu betapa pedihnya perjuangan rakyat dan para pejuang negeri tercinta demi Indonesia merdeka. Ratusan tahun tanah Nusantara dijajah Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang dengan Negara Kincir Angin yang paling lama menjajah di bumi Pertiwi tercinta. Sungguh, sangat menderita rakyat Indonesia," ujarnya menambahkan.
Lebih lanjut, Haedar mengatakan peringatan kemerdekaan ke-80 harus menjadi titik tolak untuk memperbaiki arah bangsa. Ia mengajak semua elemen bangsa, terutama para elite pemerintahan, untuk kembali pada nilai-nilai dasar konstitusi dan menjadikan amanah rakyat sebagai jalan pengabdian, bukan kepentingan pribadi.
Haedar juga berpesan agar seluruh rakyat Indonesia menjadikan peringatan ini sebagai gerakan kolektif untuk membawa bangsa menuju masa depan yang bersatu, berdaulat, dan maju. "Bagi seluruh elite yang memiliki akses kekuasaan politik, tunaikan mandat konstitusi dengan penuh bakti demi ibu pertiwi. Jauhi sikap angkuh dengan kekuasaan politik di tangan. Mandat rakyat itu hanyalah titipan, bukan kekuasaan untuk dimiliki," ungkapnya.
"Mari wujudkan Indonesia yang ‘Bersatu berdaulat, rakyat sejahtera, dan Indonesia maju’ sebagaimana tema hari ulang tahun kemerdekaan ke-80 tahun ini," kata Haedar.
Wulan Intandari
Caption : Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir. // Dok : Wulan Intandari.