Senin 22 Sep 2025 15:57 WIB

Transparansi Pajak Pejabat dan Pemulihan Kepercayaan Publik

Penerapan transparansi menurunkan risiko polarisasi tajam.

Isman
Foto: dokpri
Isman

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Isman (Dosen Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Membangun ulang kepercayaan publik tidak mudah di saat kepercayaan mereka terhadap pejabat publik berada pada titik nadir yang sangat rendah.

Sekedar mencermati data survei dari Celios tahun 2025 bahwa jika pada tahun 2023 total kekayaan pejabat publik mencapai Rp 19,57 triliun dengan rata-rata Rp 391 miliar per orang dan pada 2024 naik menjadi Rp 21,32 triliun dengan rata-rata Rp 426 miliar per orang.

Artinya terjadi peningkatan median kekayaan menteri dan pejabat publik sejenisnya untuk periode ini tercatat Rp 55,1 miliar, meningkat hampir 50 persen dari kabinet sebelumnya. Bahkan 671 kali lipat lebih besar dari median kekayaan warga Indonesia.

Fakta ini menunjukkan jarak simbolik yang makin melebar antara elite dan rakyat sebagai konsekuensi dari persepsi sosial terhadap distribusi kekayaan.

Fenomena tersebut berpotensi menghadirkan pertukaran simbolik yang tidak seimbang dalam interaksi publik. Kekayaan para pejabat menjadi simbol kekuasaan dan keberhasilan, sementara masyarakat menafsirkannya sebagai tanda ketidakadilan sosial.

Demo masyarakat terkait kesulitan ekonomi dapat saja menyoroti tambahan Rp 1,75 triliun dalam setahun karena menegaskan bahwa simbol “pejabat negara” tidak lagi dimaknai semata sebagai pelayan publik, melainkan aktor yang berjarak dari realitas hidup mayoritas rakyat.

Dalam perspektif interaksionisme simbolik, simbol kekayaan itu telah dimanipulasi dan menghasilkan persepsi negatif yang berimplikasi pada menurunnya kepercayaan publik.

Lembaga survei Celios mengemukakan penting bagi publik untuk dapat mengakses data pajak pejabat sebagai upaya membangun simbol baru berupa transparansi. Pajak yang jelas dan dapat diakses publik menjadi alat komunikasi simbolik yang menegaskan kesesuaian antara kepemilikan dan kontribusi.

Jika transparansi ini diwujudkan, simbol pejabat akan dimaknai ulang bukan hanya sebagai penguasa kaya, melainkan sebagai bagian dari komunitas yang turut menanggung beban sosial. Dengan demikian, proyek sosial berbasis komunitas yang memprioritaskan transparansi dan partisipasi dapat menjadi jembatan simbolik untuk merestorasi interaksi yang rusak.

Ketika informasi tentang pajak dari para pejabat tidak dibuka, masyarakat akan menafsirkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan PHK massal bukan hanya sebagai akumulasi krisis ekonomi, melainkan simbol jarak sosial antara elit politik dengan publik. Pejabat kemudian disimbolkan sebagai representasi ketidaksetaraan yang merusak rasa kebangsaan.

Kekayaan para pejabat menjadi simbol dari struktur patologis sosial, karena bagian dari sistem tidak lagi menjalankan fungsi integratifnya. Dalam perspektif Durkheim, sistem sosial yang normal menuntut terpenuhinya kebutuhan fungsional berupa keadilan dan transparansi, sedangkan ketiadaan transparansi menciptakan kondisi abnormal. Publik yang kehilangan konsensus nilai yang seharusnya menjadi perekat integrasi sosial akan berubah drastis karena melihat elite sebagai common enemy. Hal ini terlihat di beberapa negara Asia seperti yang terjadi di Nepal beberapa hari terakhir.

Catatan Celios tentang ketimpangan distribusi di atas berpotensi memicu pertanyaan serius tentang legitimasi sistem, sebab kelompok subordinat semakin menyadari kepentingan kolektif mereka.

Solusinya transparansi pajak dapat diproyeksikan sebagai mekanisme redistribusi simbolik dan material yang meminimalkan ketegangan antara segmen dominan dan subordinat. Jika setiap pejabat negara diwajibkan melaporkan kontribusi pajaknya secara terbuka, masyarakat memperoleh akses untuk menilai kesesuaian antara lonjakan kekayaan dengan kontribusi pada sistem.

Transparansi tersebut bukan hanya memberi legitimasi pada kekayaan yang dilaporkan, melainkan juga meredam kesadaran kolektif subordinat bahwa distribusi sumber daya bersifat eksploitatif. Dengan demikian, pajak terbuka dapat mengubah arena konflik menjadi arena integrasi.

Penerapan transparansi juga menurunkan risiko polarisasi tajam. Karena semakin besar kesadaran kolektif segmen subordinat, maka semakin tinggi potensi orkestrasi konflik dapat dinavigasi atau dikendalikan. Publikasi pajak pejabat akan menunjukkan bahwa kalangan dominan ikut menanggung beban fiskal yang sama, sehingga kesadaran kolektif subordinat dapat diarahkan pada solidaritas, bukan pada perlawanan. Proses ini memperlihatkan bahwa mekanisme simbolik berupa laporan pajak adalah instrumen politik yang meredam alienasi.

Transparansi pajak juga meneguhkan fungsi hukum sebagai sarana integrasi sosial, meskipun dilihat dari kacamata konflik hukum sering dianggap sebagai alat penguasaan. Dengan regulasi yang mengikat pejabat untuk membuka data pajak, negara tidak hanya mengukuhkan dominasi elit, tetapi juga mendistribusikan legitimasi kepada publik.

Kebijakan ini dapat menjadi titik temu antara dominasi kekuasaan dengan tuntutan subordinat, karena akses informasi memungkinkan publik merasa menjadi bagian dari sistem yang adil.

Kebijakan transparansi pajak bagi pejabat public seperti Menteri dan pimpinan BUMN lainnya bukan sekadar wacana administratif, melainkan strategi integrasi ulang. Terbukanya kontribusi fiskal pejabat negara dalam perspektif integrasi sosial diproyeksikan mampu mengurangi ketimpangan persepsi, menekan potensi konflik terbuka serta menjaga konsensus kebangsaan agar tidak terbelah oleh kesadaran kolektif subordinat yang menantang legitimasi distribusi sumber daya.

Transparansi sesungguhnya merupakan instrumen politik yang mencegah sistem bergerak menuju keadaan patologis, dan justru menguatkan keutuhan sosial melalui distribusi kepercayaan.

Berdasakan survei dari Celios 2025 tersebut dapat disimpulkan bahwa transparansi fiscal dan perpajakan adalah simbol baru integrasi sosial. Sementara kian melebarnya jarak simbolik antara pejabat dan publik yang sulit dipulihkan tanpa instrumen konkret sehingga kemarahan kolektif dalam bentuk anarkisme sosial tidak hanya menunjukkan rendahnya legitimasi pejabat publik tetapi juga merenggangnya integrasi sosial bernegara akhir-akhir ini, suka tidak suka memaksa kita untuk memecahkannya dengan menjadikan transparansi pajak sebagai instrumen politik sekaligus instrument sosial untuk meredam konflik dan mengembalikan legitimasi sistem.

Adapun untuk mencegah eskalasi peningkatan kesadaran kolektif Masyarakat akibat tersubordinasi oleh struktur ekonomi elitis yang sewaktu-waktu bertransformasi menjadi perlawanan terbuka jika tidak ada kebijakan korektif. Maka solusi kebijakannya adalah mewajibkan publikasi pajak pejabat publik melalui regulasi yang mengikat, sehingga transparansi fiskal tidak hanya menjadi mekanisme formal-administratif, melainkan juga instrumen integrasi sosial yang mempersempit jarak simbolik, menekan polarisasi serta merekonstruksi ulang kepercayaan publik terhadap sistem politik dan hukum di negeri ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement