Kamis 02 Oct 2025 14:38 WIB

BNPT Sebut Radikalisasi Kini Menyusup Lewat Dunia Game Online

Fenomena serupa juga terjadi di berbagai negara.

Game Roblox.
Foto: Dok Republika
Game Roblox.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan bahaya radikalisasi yang kini merambah platform game online. Fenomena ini dinilai semakin mengkhawatirkan karena menyasar anak-anak dan remaja, kelompok usia yang paling rentan terhadap paparan ideologi ekstrem.

Kepala BNPT Komjen (purn) Eddy Hartono, mengungkapkan, sedikitnya 13 anak dari berbagai daerah di Indonesia telah terhubung melalui permainan daring Roblox, yang kemudian menjadi pintu masuk bagi jaringan simpatisan teroris. Dari ruang permainan, interaksi bergeser ke platform komunikasi tertutup seperti Telegram dan WhatsApp, tempat proses indoktrinasi lebih intens berlangsung.

“Kami mencatat pola rekrutmen baru. Anak-anak tidak lagi hanya menjadi target propaganda di media sosial, tapi juga di dalam game online yang mereka mainkan sehari-hari. Ini tantangan besar bagi kita semua,” ujar Kepala BNPT pada Rapat Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga Dalam Rangka Membahas Upaya Pencegahan Radikalisasi di Dunia Maya di Jakarta, Selasa (30/9/2025).

Fenomena serupa juga terjadi di berbagai negara. Pada 2024, seorang remaja 16 tahun di Singapura ditangkap karena membuat simulasi zona militer Afghanistan di Roblox. Permainan itu menarik banyak pengikut sebelum kemudian dipindahkan ke grup tertutup untuk penyebaran ideologi radikal. Di Amerika Serikat dan Jerman, game online juga dipakai untuk mengangkat isu kebencian, termasuk narasi Nazi, guna melawan pemerintah dan aparat.

BNPT menilai pola ini selaras dengan peringatan PBB bahwa ancaman terorisme global kini semakin adaptif. Meski pengaruh Al Qaeda dan ISIS di Asia Tenggara menurun, faktor lokal seperti ketidakadilan sosial dan isu politik tetap memicu kerentanan radikalisasi.

Selain itu, penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk membuat konten propaganda memperparah situasi. Konten buatan mesin yang sulit dibedakan dari asli berpotensi menyesatkan, terutama bila terus diulang dan dianggap sebagai kebenaran.

BNPT mendorong koordinasi lintas kementerian/lembaga untuk memperkuat literasi digital, meningkatkan pengawasan ruang siber, serta memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak dan remaja.

“Kita semua, terutama para orang tua, harus mewaspadai ruang baru radikalisasi ini. Jangan sampai anak-anak kita justru belajar kebencian lewat permainan," kata Eddy.

Rakor itu dihadiri Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi Irjen Alexander, Direktur Operasi Keamanan Dan Pengendalian Informasi BSSN Satryo Suryantoro, Kementerian Sosial, Staf Ahli Menteri Bidang Manajemen Talenta Kementerian Dikdasmen Dr Mariman Darto, Plt Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Ratna Susianawati, Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah, Sekjen LPSK Sriyana, jajaran Densus 88 Antiteror Mabes Polri yang dipimpin Brigjen Pol Arif Makhfudiharto, Bareskrim Polri (Subdit Anak).

Juga hadari para pejabat utama BNPT yaitu Deputi Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi Mayjen TNI Sudaryanto, Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Irjen Pol Faizal Thayeb, Deputi Kerjasama Internasional Andhika Chrisnayudhanto, Direktur Pencegahan Prof Irfan Idris,  Kasubdit Kontra Propaganda Kolonel Cpl Hendro Wicaksono, dan Kasubdit Kesiapsiagaan Kolonel Inf Indra Gunawan.

Direktur Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88 Antiteror Polri, Brigjen Pol Arif Makhfudiharto, menyambut baik inisiatif BNPT untuk memperkuat sinergi antar-kementerian/lembaga dalam menghadapi ancaman radikalisasi di dunia maya.

“Kolaborasi adalah kunci agar upaya pencegahan dan mitigasi radikalisasi di ruang digital bisa berjalan lebih efektif,” ucapnya.

Ia mengungkapkan bahwa ancaman radikalisasi di dunia maya kini tidak lagi bersifat lokal, melainkan sudah menjadi persoalan global. Ia menyebut pergeseran signifikan terjadi dalam pola perekrutan, penyebaran ideologi, hingga tahapan aksi terorisme.

“Radikalisasi di dunia maya sudah sangat masif dengan sasaran anak-anak. Jika dulu terbatas pada lingkungan tertentu secara fisik, sekarang bisa menyasar siapa saja melalui dunia maya,” kata Arif.

Menurutnya, transformasi ini tampak jelas dalam proses tahapan pelaku teror. Jika sebelumnya perekrutan dimulai dari tatap muka—penyebaran ideologi, baiat, pelatihan, hingga eksekusi—kini seluruh proses itu dapat dilakukan secara daring. Bahkan baiat dan latihan persiapan (idad) telah berpindah ke ruang digital.

Situasi ini, lanjut Arif, semakin berbahaya karena menyasar kelompok rentan, terutama anak-anak dan remaja. “Ketika seorang anak memiliki permasalahan pribadi, mereka bisa lebih mudah terjerumus dalam jejaring radikal melalui dunia maya. Ini masalah serius yang perlu kita tangani bersama,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement