REPUBLIKA.CO.ID, Kringgggg... Ponsel pintar dr. Larona Hydravianto, M.Kes., Sp.OT (K) berbunyi Senin, 7 Oktober 2025, ba'da Sholat Isya sekitar pukul 19.11 WIB. Kali ini bukan panggilan biasa, panggilan darurat dari Direktur RSUD R. T. Notopuro Sidoarjo, dr. Atok Irawan, Sp. P. Di ujung telepon, dokter Atok tanpa basa-basi menceritakan tentang keadaan darurat dari lokasi runtuhnya bangunan Ponpes Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur.
Di ujung telepon, Dokter Atok meminta tolong kepada dokter Larona untuk membantu seorang santri yang menjadi korban runtuhnya musholla di pesantren tersebut. Santri bernama Nur Ahmad itu selamat, tetapi nyawanya terancam karena tangan kirinya tertimpa beton. Satu-satunya jalan agar Nur Ahmad bisa dievakuasi adalah mengamputasi tangan kirinya di tempat, di antara reruntuhan bangunan yang bisa kapan saja menimpa yang ada di bawahnya.
Dalam kondisi yang serba terbatas dan mengancam nyawa, tim medis RSUD R.T. Notopuro Sidoarjo mengambil keputusan cepat. Keputusan sulit itu diambil menimbang Tim SAR berlomba dengan golden time untuk menemukan para korban. Dan Dokter Atok pun mengembankan tugas tersebut kepada Dokter Larona untuk mengamputasi santri berusia 14 tahun itu.
Sebagai seorang dokter spesialis ortopedi dan traumatologi, Dokter Larona pun tak berpikir panjang. "Waktu itu sekitar pukul 19.11 WIB. Saya waktu itu ditelepon oleh Dokter Atok Irawan untuk ke Ponpes Sidoarjo. Beliau mengatakam, 'Dokter Larona, ini saya posisi sedang di lokasi di pondok reruntuhan saya bersama bupati, kadinkes, Basarnas, BPBD, Damkar dan sebagainya sudah ada di sini di lokasi. Ini informasinya ada korban yang posisinya hidup tetapi posisi terhimpit beton lengan kirinya, sehingga tidak bisa dievakuasi keluar dan membutuhkan amputasi di tempat. Saya mau minta tolong Dokter Larona ke lokasi untuk melakukan amputasi yang diperlukan'," ujar Dokter Larona saat ditemui Republika, Selasa (8/10/2025).
Mendapat informasi tersebut, Dokter Larona langsung bergegas ke lokasi kejadian. Setibanya di lokasi, Dokter Larona segera masuk ke titik reruntuhan bersama tim kecil, termasuk personel Basarnas dan tim rescue rumah sakit. Ia harus merangkak melalui celah sempit di antara bongkahan beton untuk menjangkau tubuh Nur Ahmad.
"Sampai di TKP saya langsung ingin melihat korban. Makanya, sempat ada video di mana orang-orang banyak memanggil saya karena helm yang saya gunakan tidak terlalu aman. Karena saya segera ingin menuju dan segera ingin tahu bagaimana kondisi pasien, lalu saya langsung merangkak ke dalam," ungkapnya.