Ahad 07 Dec 2025 04:42 WIB

Alarm Ekologis, Tiga Seniman Kritik Sikap Manusia terhadap Alam pada Pameran 'Living Lines'

Keempatnya dipenuhi simbol relasi manusia dan alam yang kian renggang.

Rep: Wulan Intandari/ Red: Fernan Rahadi
Pameran J+ Art Awards: Living Lines di ARTOTEL Suites Bianti, Jumat (5/12/2025).
Foto: Wulan Intandari
Pameran J+ Art Awards: Living Lines di ARTOTEL Suites Bianti, Jumat (5/12/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pameran 'J+ Art Awards: Living Lines' yang dibuka di ARTOTEL Suites Bianti, Jumat (5/12/2025), tidak hanya menjadi ruang pamer karya visual, tetapi menjelma sebagai alarm ekologis dari tiga seniman yang berpartisipasi. Masing-masing membawa tafsir kritis lewat lukisannya terhadap hubungan manusia dan lingkungan.

Dengan pendekatan visual yang berbeda-beda, mereka menyuarakan kegelisahan yang sama, bagaimana manusia perlahan menjauh dari alam yang menjadi penopang hidupnya.

Oceu Apristawijaya menghadirkan empat karya antara lain Tumblrearth, Urban Forest, Restoration, dan Waiting for the Rain. Keempatnya dipenuhi simbol relasi manusia dan alam yang kian renggang, tercermin dari manusia yang merasa berada di atas alam.

"Manusia bagian dari alam ini, tapi kadang merasa lebih di atas. Seperti sekarang ini akibatnya banjir di Sumatra," ujar Oceu, Jumat (5/12/2025).

Meski kritiknya tajam, Oceu tetap menyimpan optimisme. Warna-warna dalam karyanya sebagai penanda harapan agar manusia bisa lebih peka terhadap alam yang menjadi bagian dalam kehidupan.

"Secara makna, setiap yang kelam ada harapan. Ada warna itu (dalam karya yang saya hadirkan -Red)," ungkapnya.

Berbeda dengan Oceu, seniman Oetje Lamno (Uce Alamsyah Lubis) justru memasukkan unsur spiritual ke dalam isu lingkungan. Dua karyanya, The Mind of Attraction dan Fatamorfosa, menawarkan pengalaman visual yang berpijak pada perjalanan batin. Kepekaan spiritual dalam karya Oetje menghadirkan kedalaman emosional yang memaksa penonton tidak hanya melihat, tetapi ikut merenung.

"Kesulitannya tentang pemahaman spiritualisme, saya butuh waktu sekitar 2 tahun. Spiritualisme sebelum orang menyebut agama sudah eksis dulu. Itu yang saya kumpulkan untuk membuat karya seni," ujarnya.

Sementara itu, Becky Karina yang juga terlibat dalam pameran ini memilih keheningan sebagai pintu masuk eksplorasi alam. Karya Resting Where Imagination Blooms lahir dari pengamatan detailnya terhadap unsur-unsur kecil seperti daun dan bunga.

Lewat karyanya, Becky ingin mengajak penonton melihat alam bukan sebagai latar belakang kehidupan, tetapi sebagai detail yang selama ini terabaikan.

"Proses ini banyak melihat unsur daun, bunga, kalau kita mikroskop detail. Itu saya coba tuangkan karena sering terabaikan," katanya.

General Manager ARTOTEL Suites Bianti Yogyakarta, Reza Farhan menjelaskan 'Living Lines' tidak sekadar menampilkan karya dari J+ Art Awards 2025. Pameran ini mempertemukan tiga sudut pandang seniman yang berangkat dari kehidupan sehari-hari, tradisi budaya, dan refleksi ekologis. Dengan kurasi yang menghadirkan talenta dari 42 negara, Reza menyebut pameran ini menjadi ruang perjumpaan antara keramahtamahan hotel dan kedalaman seni kontemporer.

Ia juga menyampaikan pameran ini memperkuat komitmen mereka menjadikan seni sebagai bagian dari pengalaman tamu.

"Kami sangat senang dapat membuka ruang ini untuk para seniman dan publik. Kegiatan hari ini menegaskan kembali komitmen kami untuk menjadikan seni sebagai bagian dari pengalaman para tamu. Pembukaan pameran ‘Living Lines’ menghadirkan kesempatan bagi semua yang hadir untuk merasakan Yogyakarta melalui perspektif seni kontemporer," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement