Ahad 17 Oct 2021 18:29 WIB

BEM SI Kritik Gubernur DIY

Pemda DIY dinilai lepas tangan sebagai pemerintah yang menjamin kebutuhan rakyatnya.

Rep: Wahyu Suryana/My38/My39/ Red: Fernan Rahadi
Ketua BEM KM UGM, Muhammad Farhan (kanan) saat diwawancarai wartawan, Sabtu (16/10)..
Foto: My39
Ketua BEM KM UGM, Muhammad Farhan (kanan) saat diwawancarai wartawan, Sabtu (16/10)..

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- DIY sebagai Kota Pelajar, Kota Pendidikan, Kota Pariwisata dan Kota Budaya dikenal dengan berbagai keistimewaan. Sayang, di balik keistimewaan itu terdapat berbagai macam permasalahan yang dirasa mencoreng keistimewaan di DIY.

Mewakili Aliansi BEM SI di DIY, Ketua BEM KM UGM, Muhammad Farhan mengatakan, dari lingkup ekonomi, terutama pandemi Covid-19, masih banyak kesenjangan dan ketimpangan. Hal ini terjadi akibat ketidakjelasan penanganan pempus dan pemda.

Sebagai daerah istimewa, DIY sudah seharusnya memiliki langkah taktis dalam menurangi dampak pandemi. Khususnya, bagi pedagang dan pelaku ekonomi yang terdampak PPKM dan kebijakan menggantung lain selama pandemi terjadi.

Kondisi perekonomian kontraksi 6,74 persen dengan capaian di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) di DIY penduduk miskin naik 27.400 pada September 2020 dibanding Maret 2020, dari 475 ribu menjadi 530.140.

"Mirisnya, Gubernur (DIY) kita, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menginstruksikan agar masyarakat bisa memakai dana swadaya dan sikap saling gotong-royong untuk pemenuhan kebutuhan selama PPKM Darurat," kata Farhan, Sabtu (16/10).

Ia melihat ini sebagai tindakan lepas tangan Pemda DIY dari tanggung jawabnya sebagai pemerintah yang menjamin kebutuhan rakyatnya. Farhan mempertanyakan pula Dana Keistimewaan yang seharusnya dapat dialokasi ke pemenuhan kebutuhan.

Terlebih, masyarakat sedang berada di tengah situasi darurat pandemi covid yang melanda dunia. Farhan berpendapat, kondisi ini diperburuk kebijakan Pemda DIY lewat Pergub DIY Nomor 1 Tahun 2021 yang membungkam demokrasi di ruang publik.

Pergub mengatur tentang pengendalian pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum pada ruang terbuka. Ia melihat, pergub tersebut telah mereduksi hak-hak konstitusional, jadi bentuk pembungkaman bahkan perampasan demokrasi di DIY.

Pasal 5, melarang penyampaian pendapat di muka umum di pusat pemerintahan mulai Istana Negara Gedung Agung, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kraton Kadipaten Pakualaman, Kota Gede, Malioboro radius 500 meter dari titik terluar.

Dengan dikosongkannya pusat-pusat kekuasaan itu dari aktivitas demokrasi, akan menutup tekad rakyat menyuarakan aspirasi langsung pemimpin di daerah. Pasal lain mematuhi batas maksimal baku tingkat kebisingan pengeras suara 60 desibel.

Farhan menilai, pasal-pasal selain anti-kritik, Gubernur melakukan pengingkaran terhadap demokrasi dan nilai-nilai HAM melalui Pergub tersebut. Adanya pergub ini mengancam nilai-nilai demokrasi, yang telah dijamin UUD 45 dan UU 9/1998.

Dari lingkup perguruan tinggi kebebasan akademik masih jadi masalah menghantui. Kasus pembungkaman, ancaman keselamatan dan hak akademis masih kerap terjadi, dan kampus-kampus DIY masih mudah diintervensi penguasa atau oknum kepentingan.

"Misal, diskusi impeachment CLS FH UGM yang dianggap makar, menjadi ketakutan rezim kepada gerakan akademisi. Di mana Pemda DIY yang hari ini bisa menjadi salah satu bentuk penjaminan pemerintah dalam kasus tersebut," ujar Farhan.

Aliansi BEM SI DIY menyatakan tiga sikap. Pertama, mendesak jaminan kebebasan akademik di lingkup perguruan tinggi di DIY. Kedua, mendesak jaminan penanganan Covid-19 dimulai dengan jaminan pembukaan aktivitas ekonomi secara permanen di DIY.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement