Jumat 26 Nov 2021 19:25 WIB

Pemerintah Perbaiki UU Ciptaker, KSPI Minta SK UMP Dicabut

Pemerintah akan memperbaiki UU Ciptaker sementara KSPI minta SK UMP dicabut

Rep: Rizkyan Adiyudha, Nawir Arsyad Akbar, Febryan. A/ Red: Bayu Hermawan
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly
Foto:

Sejak awal pembahasan hingga pengesahan, Partai Demokrat disebutnya terus menyuarakan protes agar UU Cipta Kerja tak disahkan terburu-buru. Pasalnya, terdapat sejumlah poin yang masih menjadi polemik, salah satunya adalah klaster ketenagakerjaan. 

Putusan MK, kata Hinca, harus dipandang oleh DPR dan pemerintah sebagai cambuk hukuman atas pembahasannya yang terburu-buru. Selama dua tahun le depan, ia mengimbau pemerintah untuk benar-benar sekali lagi memprioritaskan masyarakat dalam pembahasan perbaikan UU Cipta Kerja.

"Ini pelajaran yang sangat mahal bagi pemerintah yang terburu-buru, akhirnya terbengkalai juga. Dan karena itu ayolah sebagai anak bangsa yang punya negara ini sama-sama, kita hormati putusan mahkamah konstitusi," ujar Hinca.

Sementara, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta para gubernur mencabut surat keputusan (SK) terkait Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022, yang diketahui hanya naik 1,09 persen secara rata-rata nasional. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) inkonstitusional bersyarat.

"Kepada gubernur yang telah menetapkan UMP 2022, maka harus dicabut atau direvisi, karena MK menyatakan tidak boleh dipakai, ditangguhkan," kata Presiden KSPI, Said Iqbal, dalam konferensi pers daring, Jumat (26/11).

Untuk diketahui, penetapan UMP 2022 mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. PP tersebut merupakan aturan turunan dari UU Ciptaker.

Said melanjutkan, para gubernur harus menetapkan kembali UMP 2022 yang baru. Penetapannya harus mengacu pada aturan sebelumnya, yakni PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Sebelumnya, Kamis (26/11), Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Dalam pembacaan amar putusan, Anwar menyatakan, Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan para pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dengan DPR, melakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam putusan tersebut. MK memerintahkan kepada para pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK.

Apabila dalam tenggang waktu tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. 

"Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan (UU Cipta Kerja--Red), undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," ujar Ketua MK Anwar Usman.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement