Senin 29 Nov 2021 14:13 WIB

Pemerintah Klaim tak Sulit Perbaiki UU Cipta Kerja

Perbaikan UU Cipta Kerja dinilai tak perlu masuk program legislasi nasional di DPR.

Rep: Nawir Arsyad Akbar, Rizki Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Ketua Majelis Hakim Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan Saldi Isra (kanan) memimpin sidang putusan gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan tersebut, namun demikian UU Cipta Kerja harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan.
Foto:

Dalam forum yang sama, mantan ketua MK Hamdan Zoelva menilai putusan dari lembaga yang pernah dipimpinnya itu terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasalnya jika dibatalkan, hal tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru.

"Kalau dinyatakan serta merta tidak berlaku, memang dampaknya sangat luas dan banyak sekali perdebatan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru," ujar Hamdan.

Jika UU Cipta Kerja dibatalkan dan tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, undang-undang mana yang akan digunakan oleh pemerintah dalam mengeluarkan kebijakannya. Termasuk dalam pemberlakuan aturan pelaksanaanya.

"Lalu bagaimana implementasinya di lapangan itu, bagaimana statusnya, kemudian UU yang mana yang akan berlaku. Kalau memberlakukan undang-undang yang lama, apakah ikutan PP yg lama yang berlaku, jadi ini akan menimbulkan kekacauan baru," ujar Hamdan.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR yang juga panitia kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Ledia Hanifa menyarankan DPR dan pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Pokok revisi UU PPP tersebut membuat pengaturan terkait tata cara pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law.

"Berdasarkan ketentuan UU yang mengatur tentang tata cara pembentukan UU dengan metode omnibus law tersebut, pemerintah kemudian mengajukan RUU baru dalam rangka memperbaiki UU Cipta Kerja sebagaimana amanat putusan MK," ujar Ledia.

Ia menjelaskan, sesungguhnya metode omnibus law sendiri tidak memiliki dasar hukum. Pasalnya, dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang PPP tidak mengatur metode tersebut. "Proses, tahapan, dan prosedur RUU perbaikan terhadap UU Cipta Kerja tersebut harus dipastikan taat asas dan prosedur sesuai dengan pedoman yang disepakati," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai UU Cipta Kerja menggunakan metode omnibus law yang meniru Amerika Serikat dan Kanada. Namun, metode tersebut berbenturan dengan UU PPP. "Tidak heran dan tidak kaget jika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional, masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Kalau murni inkonstitusional, maka pemerintah Presiden Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit," ujar Yusril.

Yusril mengatakan, dalam UU PPP, setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada undang-undang tersebut. Adapun dalam undang-undang tersebut, tak mengatur metode omnibus law. "Sebab itu, ketika UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan meniru gaya omnibus law diuji formil dengan UU Nomor 12 Tahun 2011, UU tersebut bisa dirontokkan oleh MK," ujar Yusril.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement