REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Ombudsman RI menyebut Pemerintah Daerah (Pemda) DIY merespons cepat terhadap saran korektif atas Pergub DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Dalam pergub ini, ada beberapa tempat yang dilarang untuk unjuk rasa, salah satunya Malioboro.
Berdasarkan LAHP Ombudsman RI DIY, telah terjadi maladministrasi dalam perumusan pergub tersebut. Maladministrasi ditemukan karena Pemda DIY mengabaikan hak-hak masyarakat dalam perumusan pergub tersebut.
Wakil Ketua Ombudsman RI, Bobby Hamzar Rafinus mengatakan, Pemda DIY telah menindaklanjuti saran dari Ombudsman dalam kurun waktu yang sudah ditentukan. Sejak keluarnya laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) pada 21 Oktober 2021 lalu, Pemda DIY diminta untuk menindaklanjuti dalam waktu 30 hari.
Tindaklanjut yang dilakukan oleh Pemda DIY yakni dengan mengadakan diskusi publik pada 3 November lalu. Diskusi ini digelar dengan menampung masukan dari berbagai unsur masyarakat, termasuk komunitas yang ada di Malioboro untuk perbaikan pergub yang sudah ditandatangani awal 2021 itu.
"Komunikasi dan usulan-usulan perbaikan dari Pemda DIY disampaikan dalam kurun waktu itu, itu yang kami sebut respon cepat. Karena banyak sekali terlapor yang lambat, mungkin dalam birokrasi mereka memerlukan prosedur yang panjang dan kami melihat DIY responsif terhadap masukan Ombudsman," kata Bobby di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Senin (29/11).
Bobby menuturkan, saran untuk perbaikan pergub itu salah satunya terkait pengaturan rute dalam proses penyampaian pendapat agar dapat berjalan tanpa mengganggu aktivitas perekonomian. Pengaturan rute, katanya, diperlukan agar bangunan-bangunan yang termasuk dalam World Heritage UNESCO tetap terjaga dengan baik.
"Pergub itu kan menyangkut peraturan bagaimana pola masyarakat akan menyampaikan pendapat, baik kepada DPRD, pemda. Di dalam konsep yang ada sekarang ini kan ada pembatasan, harus (di luar radius) 500 meter, itu yang jadi poin dari teman-teman pegiat demokrasi untuk bisa ditinjau kembali," ujarnya.
Seperti diketahui, Pemda DIY menyebut menampung masukan masyarakat terkait dengan Pergub DIY Nomor 1 Tahun 2021. Asisten Sekretariat Daerah (Setda) DIY Bidang Pemerintahan dan Administrasi Umum, Sumadi mengatakan, dimungkinkan ada substansi dalam pergub tersebut diubah atau direvisi walaupun sudah dikeluarkan pada awal 2021 lalu.
"Memang masukan-masukan itu masih relevan, kita masukkan dalam konten substansinya. Ini menjadi bahan untuk kami diskusikan," kata Sumadi.
Dengan begitu, dapat diartikan bahwa Pemda DIY tidak akan mencabut pergub ini. Pasalnya, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) sebelumnya meminta Pemda DIY untuk mencabut pergub yang melarang demo di kawasan Malioboro tersebut. "Kemungkinan ada perubahan," ujar Sumadi.
Dalam diskusi publik yang sudah digelar Pemda DIY, komunitas yang ada di kawasan Malioboro memberikan masukan terkait jarak demonstrasi dari lokasi yang dilarang.
Kepala Biro Hukum Setda DIY, Adi Bayu Kristanto mengatakan, jarak yang diatur dalam pergub melarang adanya demonstrasi dalam radius 500 meter.
Namun, masukan dari masyarakat menyampaikan agar radius tersebut diperkecil menjadi 150 meter dari titik terluar lokasi yang dilarang untuk demonstrasi. "Masukan-masukan ini menjadi bahan kita dengan Kemenkumham untuk bisa melakukan pengadministrasian, sehingga bagaimana nantinya pergub menjadi lebih baik," ujar Bayu.
Sementara itu, ARDY menilai diskusi publik yang digelar Pemda DIY tidak sejalan dengan saran Ombudsman. "Ombudsman RI DIY sangat jelas menyebutkan, saran tindakan korektif adalah meninjau kembali Pergub DIY Nomor 1 tahun 2021, bukan sekedar diskusi publik. Acara yang dihelat oleh gubernur hari ini terkesan cuma jadi ajang sosialisasi dan boleh jadi cuma forum legitimasi semata," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli.
Yogi mengatakan, sebagian besar yang diundang dalam diskusi publik tersebut merupakan komunitas di Malioboro. Sementara, banyak unsur masyarakat lainnya yang tidak dilibatkan dalam diskusi tersebut.
Pemda DIY juga tidak melibatkan elemen masyarakat yang berasal dari gerakan buruh, petani, perempuan, difabel, hingga mahasiswa, Sebab, elemen masyarakat tersebut yang selama ini intensif menyuarakan aspirasi di ruang-ruang publik di DIY.
"Sebagian unsur peserta yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut kami nilai kedudukannya bermasalah, terutama didatangkannya aparat-aparat negara yang jelas tidak netral posisinya. Pertama, tentara, lewat Komandan Korem (Danrem ) 072 Pamungkas. Kedua, gubernur juga mengundang Ketua Lembaga Ombudsman DIY (LO DIY)," ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga menyayangkan Pemda DIY yang tidak mengajak lapisan masyarakat yang memiliki kompetensi terkait substansi dari pergub ini. Mulai dari akademisi, pusat studi HAM hingga lembaga-lembaga yang fokus membahas isu demokrasi.
Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) DIY juga dinilai penting untuk diundang dalam diskusi publik tersebut. Namun, pada pelaksanaannya BPS DIY tidak dihadirkan.
"Pada 2019, BPS DIY merilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) untuk DIY mengalami penurunan. Salah satunya adalah variabel kebebasan berpendapat dan partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan," jelas Yogi.