REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Kadiv Humas Jogja Police Watch (JPW), Baharuddin Kamba, mengapresiasi temuan dari Komnas HAM atas dugaan tindakan kekerasan, penyiksaan, dan merendahkan martabat terhadap warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Yogyakarta.
Komnas HAM menemukan sembilan tindakan penyiksaan kekerasan fisik. Antara lain pemukulan baik menggunakan tangan kosong maupun alat seperti selang, kabel, alat kelamin sapi atau kayu, pencambukan menggunakan alat pecut dan penggaris.
Kemudian, ditendang, diinjak-injak menggunakan sepatu PDL dan lain-lain. Lalu, ada delapan tindakan perlakuan buruk merendahkan martabat antara lain diminta makan muntahan makanan, diminta minum air seni, mencuci muka memakai air seni.
Penyiksaan terjadi ketika warga binaan baru masuk lapas pertama kali dalam kurun waktu 1-2 hari. Kemudian, pada masa pengenalan lingkungan (mapenaling) dan saat warga binaan melakukan pelanggaran. Ada minimal 13 alat yang digunakan menyiksa.
Mulai dari selang, kayu, buku apel, tangan kosong, sepatu PDL, air garam, air deterjen, pecut sapi, timun, sambal cabai, sandal dan barang-barang yang dibawa tahanan baru. Komnas HAM menemukan ada 16 titik lokasi terjadinya penyiksaan.
Ia berpendapat, dugaan tindakan kekerasan, penyiksaan dan merendahkan martabat terhadap warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Yogyakarta itu tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Karenanya, harus diusut tuntas.
"Siapapun pelakunya, termasuk yang melakukan pembiaran kekerasan itu terjadi harus diproses hukum," kata Baharuddin, Selasa (8/3).
Komnas HAM menyimpulkan ada tiga kategori pelaku. Pertama, petugas yang mengakui tindakan pemukulan, menendang dan mencambuk. Kedua, petugas yang melihat langsung. Ketiga, petugas mengetahui dan mendengar dari rekan regu pengaman yang bertugas.
Baharuddin menilai, permintaan maaf Kanwil Kemenkumham DIY, termasuk rotasi lima oknum petugas yang disinyalir melakukan tindakan kekerasan itu ke kantor wilayah tidak cukup. Ia berharap, Polda DIY dapat mengusut kasus ini secara tuntas.
"Hal ini penting agar kekerasan di lembaga pemasyarakatan lainnya tidak terjadi," ujar Baharuddin.