REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Satuan Tugas (Satgas) Pangan DIY berharap kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng (migor) dan migor dapat semakin menurunkan harga migor. Terutama harga migor kemasan yang saat ini masih cukup tinggi, tak terkecuali di DIY.
"Nanti setelah dengan konsumsi semuanya terpenuhi, dengan otomatis dengan sendirinya kan nilai harga akan bersaing, harapan kita akan turun (untuk migor kemasan)," kata anggota Satgas Pangan dari Polda DIY, Sarwendo kepada Republika melalui sambungan telepon, Ahad (1/5/2022).
Sarwendo mengatakan, saat ini harga migor kemasan di DIY berkisar antara Rp 22 ribu sampai Rp 25 ribu untuk kemasan isian satu liter. Masih tingginya harga migor kemasan dipicu oleh beberapa faktor.
Menurut Sarwendo, masih tingginya harga migor kemasan dikarenakan tidak diatur pemerintah dengan Harga Eceran Tertinggi (HET). Selain itu, tingginya harga ini juga dinilai karena kecenderungan masyarakat yang mengkonsumsi migor kemasan masih tinggi.
"Ada wilayah-wilayah yang memang kecenderungan mengkonsumsi yang kemasan. Alasanya karena praktis, mudah dibawa dan tidak risiko pecah, sehingga dia lebih baik konsumsi yang kemasan. Itu memicu harga masih agak tinggi, berkisar Rp 22 ribu sampai Rp 25 ribu berbagai jenis merek," ujar Sarwendo yang juga Kepala Sub Direktorat Industri Perdagangan (Kasubdit Indag) I Ditreskrimsus Polda DIY tersebut.
Sedangkan, harga untuk migor curah saat ini sudah turun signifikan. Bahkan, kata Sarwendo, harga migor curah sudah mendekati Harga Eceran Tertinggi (HET).
"Harga untuk curah sudah sangat-sangat turun, artinya sudah mendekati HET untuk di konsumen. Di konsumen HET-nya Rp 15.500 per kg, sekarang sudah mendekati (HET) rata-rata Rp 15.600, agak lebih 100 rupiah saja, itu rata-rata. Sudah bagus dari sebelumnya yang Rp 18 ribu atau Rp 17 ribu, jadi sudah turun," jelasnya.
Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Widya Mataram (UWM), Antonius Satria Hadi, meminta agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan larangan ekspor ini. Pasalnya, banyak dampak yang ditimbulkan dari kebijakan ini.
Satria menyebut, kebijakan larangan ekspor itu memang diprediksi akan membuat harga minyak dalam negeri segera turun menuju normal. Kondisi tersebut, dapat mengurangi laju inflasi yang tengah meningkat saat ini.
Meskipun begitu, katanya, larangan ekspor yang ditetapkan pemerintah tersebut berdampak pada kondisi keuangan dalam negeri. Bahkan, menurutnya keputusan tersebut juga mengacaukan pasokan minyak di pasar dunia.
Satria menuturkan, Indonesia dapat kehilangan devisa sebesar Rp 43 triliun per bulan. Sedangkan, sejumlah negara yang kekurangan pasokan minyak menyebabkan kenaikan harga pada sejumlah kebutuhan dunia dan akhirnya akan berdampak pada inflasi global.
"Indonesia akan kehilangan devisa melalui pelarangan ekspor minyak CPO pada kisaran Rp 43 triliun, jika selama satu bulan penuh tidak ada kegiatan ekspor," kata Satria.