Oleh : Aad Satria Permadi*
REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun 2020, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) merilis sebuah survei tentang kecemasan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19. Hasilnya adalah, 64,3 persen dari 1.522 responden mengalami cemas dan depresi sebagai dampak pandemi Covid-19.
Mayoritas orang yang mengalami kecemasan tinggal di pulau jawa (68,6 persen), dan berjenis kelamin perempuan (76,1 persen). Sebuah penelitian yang berjudul "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecemasan Masyarakat pada Masa Pandemi Covid-19 Tahun 2021 di Kelurahan Tirtajaya Kecamatan Sukmajaya Kota Depok" menemukan hal yang serupa. Kelompok yang paling cemas adalah perempuan pada rentan usia 17-25 tahun, orang-orang yang tidak bekerja, berpendidikan paling tinggi sampai SMA, dan mereka yang tinggal di tempat yang tidak sehat.
Kalau ada survei serupa di tahun 2022, sepertinya status kecemasan masyarakat masih sama saja seperti tahun 2020 dan 2021. Mengapa? Walaupun kasus kematian akibat Covid-19 menurun, saat ini muncul lagi penyakit hepatitis akut. Hepatitis ini belum diketahui dengan pasti sebab-sebabnya.
Namun informasi-informasi yang mengaitkan penyakit tersebut dengan vaksin Covid-19 telah menyebar liar di dunia maya. Selain itu, andaikata tak ada pandemi Covid-19 dan hepatitis akut, masyarakat Indonesia sangat potensial mengalami kecemasan.
Bagaimana tidak, setiap saat orang Indonesia dikepung dengan informasi-informasi yang cenderung membuat cemas. Lihat berita di TV, mayoritas diisi oleh berita-berita menakutkan. Kalau tidak tentang pembunuhan dan perampokan, ya biasanya soal penculikan anak. Akhirnya muncul kecemasan akan keselamatan diri di luar rumah.
Menonton infotainment, isinya berita soal perceraian dan perselingkuhan publik figur. Akhirnya muncul kecemasan berumah tangga, atau muncul perasaan cemas kalau-kalau pasangannya selingkuh.
Cari hiburan dengan buka-buka Instagram, muncul rasa inferior setelah melihat teman-teman bisa healing ke tempat-tempat wisata. Lalu muncullah kecemasan kompetisi sosial, alias takut kalah eksis di media sosial. Intinya, tanpa pandemi dan penyakit yang aneh-aneh pun, sebenarnya orang Indonesia itu sudah dikepung dengan hal-hal yang menyebabkan dirinya mudah menjadi cemas.
Psikologi orang yang terlalu cemas
Kecemasan yang cenderung tinggi dapat menimbulkan menimbulkan distress. Distress menguras energi individu. Itulah sebabnya, kecemasan menimbulkan kelelahan psikologis bagi yang mengalaminya. Psikologi orang yang lelah secara psikologis adalah, ia lebih mudah mempercayai informasi apa saja yang datang kepadanya.
Hal ini terjadi karena individu sudah tidak mempunyai energi untuk berpikir dan mengklarifikasi informasi-informasi tersebut. Entah itu informasi posifit atau negatif.
Namun, kecenderungannya, individu yang terlalu cemas lebih mudah mempercayai informasi yang negatif daripada yang positif. Sebab, informasi negatif bersesuaian dengan kondisi psikisnya yang juga dalam kondisi negatif (terlalu cemas). Orang terlalu cemas lebih sulit mempercayai informasi positif, karena ia perlu energi untuk mengubah mood-nya dari negatif ke positif.
Ia juga perlu energi untuk merasionalisasi informasi-informasi negatif yang ada di kepalanya menjadi makna-makna yang positif. Itulah sebabnya, banyak hoaks yang tersebar di dunia maya, terutama yang bernuansa berita negatif. Sebab ia lebih mudah dipercaya oleh masyarakat Indonesia yang kondisinya sudah terlampau cemas.
Orang yang terlalu cemas, lebih suka status quo daripada perubahan. Untuk melakukan perubahan, memerlukan energi. Paling tidak, ia perlu berpikir tentang alasan mengapa harus berubah.
Bagaimana cara berubah, dan mempercayai proses perubahan tersebut. Ini semua perlu energi psikologis yang besar. Terutama energi untuk mempercayai proses perubahan. Kadang orang tahu alasan dan caranya berubah, namun tidak mempercayai proses. Takut gagal di tengah jalan, dikecewakan, dan lain sebagainya.
Ketakutan ini menambah kelelahan psikologis yang berujung pada sikap memilih untuk tidak berubah. Individu akan merasa, tidak berubah lebih baik daripada berubah. Walaupuan kondisi saat ini tidak menyenangkan, namun dirinya mampu beradaptasi. Perubahan cenderung menambah rasa cemas, karena tidak adanya kepastian.
Politisasi kecemasan: Dari Jokowi vs Prabowo sampai Anies Baswedan vs Ahok
Kondisi kecemasan sosial yang merata tersebut, agaknya dimanfaatkan oleh para politisi Indonesia. Terutama sejak pertarungan politik "Kampret vs Cebong" sampai hari ini. Para politisi tahu, bahwa memanfaatkan kecemasan sosial adalah cara yang lebih efektif dan efisien daripada bertarung argumentasi, apalagi track record.
Cukup men-trigger kecemasan masyarakat untuk menjauhi politisi tertentu, dan memilih politisi yang lain. Masalah argumentasi bisa dibuat-buat. Karena pada dasarnya, argumentasi bagi orang pencemas bukan untuk pertimbangan kebenaran, namun sebagai pembenaran.
Politisi bertindak sebagai penyedia argumentasi untuk masyarakat yang cemas. Masyarakat tidak perlu lagi meluangkan energi membuat rasionalisasi berupa argumentasi. Ia telah disediakan oleh para politisi dalam bentuk meme politik, potongan-potongan artikel, jargon-jargon, dan hoaks.
Contoh menarik praktik politik kecemasan adalah pilpres 2014, 2019, dan pertarungan gubernur Jakarta 2017 yang dimenangkan oleh Anies Baswedan. Pada pilpres 2014 dan 2019, kontestan capres-nya sama saja, Jokowi vs Prabowo. Lawan politik Jokowi menggunakan isu Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memunculkan kecemasan masyarakat.
Intinya, komunisme akan bangkit jika Jokowi berkuasa. Alasannya, PDI Perjuangan sebagai partai yang mengusung Jokowi adalah basis PKI zaman now. Dimunculkanlah dokumentasi pengakuan Ribka Tjiptaning (DPR RI Komisi IX Fraksi PDI-P) yang mengatakan bahwa anak cucu PKI saat ini berkumpul di PDI-P.
Ada juga yang konyol menyandingkan Jokowi dengan tokoh PKI yang postur tubuhnya mirip Jokowi. Seakan-akan keduanya memiliki sifat yang sama karena postur tubuhnya sama. Ada juga yang menulis buku Jokowi keturunan anggota PKI, dan lain sebagainya. Terlepas dari valid atau tidaknya informasi-informasi tersebut, kecemasan masyarakat dipancing dengan isu kebangkitan PKI.
Kubu Prabowo Subianto diserang isu-isu yang menghubungkannya dengan kebangkitan otoritarianisme ala Orde Baru (Orba). Latar belakangnya sebagai tentara dihubung-hubungkan dengan sifat otoriter. Keterkaitannya dengan penculikan aktivis 1998 juga diangkat untuk menguatkan kesan otoriter dalam diri Prabowo.
Sampai ada yang membeberkan masalah rumah tangga Prabowo Subianto. "Memimpin keluarga saja tidak bisa, kok mau memimpin negara", begitu kata mereka yang menyerang Prabowo. Pada dasarnya, masyarakat dipancing kecemasannya. Kalau Prabowo memimpin Indonesia, maka otoritarianisme akan lahir kembali. Kebebasan politik akan dihalang-halangi seperti zaman mertuanya dulu.
Kalau Pilkada Jakarta tahun 2017, kecemasan politik lebih berkaitan dengan isu agama. Ahok yang pada waktu itu menjadi kandidat terkuat, diterpa kasus penistaan agama. Ia dianggap menistakan Alquran surat Al-Maidah.
Lawan politik Ahok membangkitkan kecemasan masyarakat dengan mengatakan bahwa laknat Allah akan menimpa Jakarta jika Ahok memimpin Jakarta. Alasannya, Ahok adalah orang non-Muslim, di mana warga Jakarta yang mayoritas muslim dilarang syariat untuk menjadikannya pemimpin. Alasan lainnya, Ahok adalah penista Islam.
Jika ia jadi gubernur, umat Islam akan tertindas. Kalau dari lawan politik anies Baswedan, gorengan politiknya agak lebih provokatif. Anies dicitrakan sebagai bagian dari kelompok radikal, karena dekat dengan Front Pembela Islam (FPI). FPI memang dicitrakan oleh media sebagai kelompok yang radikal saat itu.
Oleh karenanya, lawan politik Anies Baswedan mengatakan bahwa jika Jakarta dipimpin Anies, maka Jakarta akan di-Suriah-kan. Maksudnya, akan hancur lebur dilanda perang seperti Suriah. Intinya, kecemasan masyarakat soal terorisme, radikalisme, dan perang ala timur tengah, menjadi senjata lawan politik Anies Baswedan saat itu.
Sebab kemenangan Jokowi dan Anies Baswedan dalam konteks politik kecemasan
Dalam kasus Jokowi vs Prabowo, cara pendukung Prabowo memancing kecemasan masyarakat dengan isu PKI tidak lebih efektif daripada cara pendukung Jokowi dengan isu otoritarianisme Orde Baru-nya. Isu PKI sudah kehilangan momentum kecemasan sosialnya.
Selain karena pemberontakan PKI terjadi di tahun 1948 dan 1965, pendidikan tentang bahaya PKI tidak lagi segencar zaman Orba. Televisi sudah tidak kompak lagi menayangkan film Pemberontakan G30S PKI. Buku-buku yang membela PKI dan menyalahkan Orba menjamur pasca reformasi. Hal-hal tersebut menjadikan memori sejarah kelam PKI tidak lagi relevan bagi masyarakat.
Sebaliknya, masa keruntuhan Orba masih lebih segar dalam ingatan. Rata-rata politisi yang ada di senayan saat itu, adalah orang-orang yang ikut memperjuangkan Reformasi 1998. Paling tidak, ikut terlibat secara emosional. Mereka merasakan betul sulitnya hidup dalam bayang-bayang otoritarianisme.
Pengalaman pahit tersebut mendorong mereka lebih masif melakukan propaganda anti-Orba, yang saat itu dicitrakan dalam diri Prabowo. Selain itu, masyarakat akan mudah percaya jika dikatakan bahwa Prabowo seorang yang otoriter. Stereotip di masyarakat adalah, tentara adalah sosok yang otoriter.
Artinya, akan lebih mudah dipercaya informasi yang mengatakan bahwa Prabowo adalah seorang otoriter. Apalagi pesaingnya adalah Jokowi. Seorang sipil dengan postur dan gesture ndeso. Sangat sulit mempercayai Jokowi seorang yang otoriter. Bahkan sebaliknya, postur dan gestur seperti Jokowi dianggap mewakili masyarakat kelas menengah ke bawah.
Oleh karenanya, salah satu iklan politik tim sukses Jokowi yang paling punya pengaruh psikologis adalah ketika Jokowi didandani sebagai tukang becak, tukang tambal ban, dan tukang sapu. Ditambah lagi dengan jargon "Jokowi adalah kita". Maksudnya, Jokowi adalah mewakili kita, masyarakat Indonesia yang mayoritas status sosial ekonominya kelas menengah ke bawah.
Dengan profil di atas, maka kecemasan terhadap Prabowo lebih besar daripada Jokowi. Bahkan Jokowi dianggap sebagai solusi instan. Bukan karena masyarakat tahu kalau Jokowi punya kemampuan membenahi Indonesia. Tapi justru karena postur dan gestur-nya tidak tampak seperti orang pintar yang mampu mengatasi kesulitan.
Saya mengistilahkan fenomena ini dengan "Mabuk Keajaiban". Masyarakat dengan kecemasan yang tinggi, cenderung memerlukan solusi instan yang mengagumkan. Mereka cenderung perlu solusi cepat yang memuaskan secara psikologis. Kalau postur dan gestur Jokowi itu nampak seperti orang cerdik-pandai, maka ia tidak akan memuaskan secara psikologis. Tidak ada nuansa ajaib, jika Jokowi mampu memperbaiki Indonesia. Tapi justru karena postur dan gesturnya berkebalikan dari orang cerdik-pandai, maka ia dipilih untuk mengatasi keadaan.
Untuk lebih mudahnya, kita dapat mengambil contoh fenomena dukun cilik Ponari beberapa tahun lalu. Banyak sekali masyarakat yang percaya keampuhan batu yang dimiliki Ponari. Batu yang dianggap dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Jika batu itu dicelupkan ke air, maka air itu dapat menjadi obat segala penyakit.
Sebenarnya masyarakat tahu, kalau itu tidak masuk akal. Namun justru di situlah daya tariknya. Kalau berobat ke dokter, dan sembuh, itu tidak memiliki nuansa keajaiban. Karena berobat ke dokter adalah kegiatan yang rasional. Tapi jika berobat ke anak kecil yang obatnya adalah seonggok batu, dan sembuh, maka itulah keajaiban. Nah, keajaiban inilah yang dinanti-nanti oleh orang-orang yang memiliki kecemasan yang tinggi.
Selain Prabowo adalah sosok yang mencemaskan jika jadi presiden, Jokowi adalah sosok yang dinanti keajaibannya oleh masyarakat pencemas. Itu sebabnya ia dapat mengalahkan Prabowo di pemilihan umum 2014 dan 2019.
Pada kasus kemenangan Anies di Pilkada Jakarta 2017, kecemasan tentang Anies sangat tidak relevan. Anies dicitrakan sebagai orang yang intoleran. Ia dianggap akan membawa Jakarta ke dalma konflik SARA seperti yang terjadi di Suriah.
Hanya karena Anies didukung penuh oleh ormas FPI. Secara pribadi, sulit orang Jakarta mempercayai kampanye kecemasan terhadap Anies tersebut. Selama ini, Anies dikenal sebagai seorang intelektual yang pluralis. Ia adalah mantan rektor Paramadina dan mantan menteri Jokowi.
Walaupun seorang pencemas dapat mempercayai informasi apa saja yang didengarnya, namun informasi tersebut harus memiliki hubungan asosiatif. Tidak perlu rasional, tapi jangan sampai irasional. Dengan atribut yang demikian, sulit terjadi hubungan asosiatif antara Anies dengan perilaku intoleran. Apalagi digembar-gemborkan Jakarta akan menjadi Suriah jika dipimpin Anies.
Anies yang didukung FPI juga tidak cukup menjadi alasan asosiatif dalam benak masyarakat Jakarta. Mengapa? Selama ini mayoritas masyarakat Jakarta hidup berdampingan dan rukun dengan FPI. Bahkan banyak cerita yang beredar di masyarakat, bahwa FPI dikenal sebagai kelompok yang tanggap terhadap bencana, dan juga rajin memberikan pertolongan kepada masyarakat. Jadi, menghubung-hubungkan FPI dan Anies sebagai sosok intoleran, agak sulit diterima dalam benak masyarakat Jakarta.
Sedangkan isu Ahok melecehkan Alquran lebih faktual daripada intoleransi Anies dan FPI. Tokoh-tokoh masyarakat dan Ulama sepakat kalau Ahok memang melecehkan Alquran. Kejadiannya pun menjelang Pilkada Jakarta. Momentum kecemasan psikologisnya lebih mengena daripada isu intoleransi Anies Baswedan. Sehingga masyarakat lebih cemas jika Ahok terpilih sebagai Gubernur DKI, daripada mencemaskan Anies Baswedan. Itulah sebabnya, mengapa Ahok terjungkal dalam pilkada DKI, walaupun banyak yang memprediksi ia akan menang dengan mudah.
Politik kecemasan menjelang Pemilu 2024 dan prospeknya di masa depan
Agaknya, strategi menggunakan politk kecemasan masih akan tumbuh subur menjelang Pilpres 2024. Hari ini, mulai banyak bertebaran meme salah satu capres terkuat (menurut beberapa survei) di media sosial. Meme tersebut kira-kira berbunyi demikian, "Kita cuma punya (nama beliau) untuk melawan radikalisme/intoleransi". Seakan-akan masalah besar bangsa ini adalah intoleransi dan radikalisme, dan semua capres tidak ada yang mampu mengatasinya kecuali beliau.
Mungkin masih terlalu pagi untuk memancing kecemasan masyarakat. Karena idealnya, politik kecemasan paling bagus dilakukan menjelang pencoblosan. Karena kalau dilakukan terlalu pagi, maka ia akan kehilangan momentum kecemasannya. Masyarakat akan mempunyai banyak waktu untuk berdialektika dengan informasi-informasi lain, yang mungkin akan mengubah arah kecemasannya.
Menjelang pemilu 2024 nanti, saya yakin, politik kecemasan akan digunakan oleh banyak capres. Ancang-ancangnya sudah terlihat hari ini. Selain contoh di atas, ada ancang-ancang yang lebih halus, namun akan menjadi politik kecemasan menjelang pilpres 2014. Ada salah satu capres yang membuat baliho viral yang bertuliskan "Kepak Sayap Kebhinekaan".
Hari ini, kalimat tersebut masih soft. Namun secara implisit, sebenarnya ia menginformasikan paling tidak dua hal: pertama, masalah di Indonesia adalah intoleransi. Makanya, perlu dikuatkan nilai-nilai pluralitas, atau kebinekaan. Siapa yang mampu melakukannya? Ya, capres yang ada di baliho tersebut. Ia akan membawa kebinekaan sebagai nuansa sosial utama masyarakat Indoenesia.
Hari ini, maknanya seperti itu. Namun, menjelang pilpres 2024 nanti, informasi balihonya akan lebih hard core. Kampanyenya bukan lagi masalah kebinekaan, namun bahaya gerakan anti-kebinekaan. Ujung-ujungnya, akan memancing kecemasan masyarakat tentang intoleransi dan radikalisme.
Berkaca dari kasus kemenangan Jokowi dan Anies baswedan, politik kecemasan di masa depan hanya akan sukses jika kecemasan yang disebarkan memiliki relevansi asosiatif yang kuat. Jika relevansi asosiatifnya lemah, maka politik kecemasan tidak akan mempan. Mengapa? Ketiadaan relevansi yang asosiatif akan membebani psikologis masyarakat yang energinya sudah habis untuk meladeni kecemasannya sendiri. Masyarakat tidak memiliki cukup energi untuk menghubungkan kampanye kecemasan dengan realitas yang dialaminya, karena terlalu lemah relevansi asosiatifnya.
Dalam rentan waktu yang agak panjang ke depan, prospek politik kecemasan sangat tergantung dari kualitas pendidikan di Indonesia. Masyarakat yang terdidik, memiliki energi psikologis yang cukup untuk menelaah informasi-informasi datang kepadanya.
Masyarakat yang terdidik paham bagaimana metodologi untuk menemukan kebenaran sebuah berita. Namun jika masyarakat Indonesia semakin tidak terdidik, maka prospek politik kecemasan juga akan semakin gilang-gemilang. Akan banyak politisi yang ambil jalan pintas menggunakan politik kecemasan untuk mendapatkan kekuasaan. Lebih mudah, murah, dan tidak perlu membenahi kualitas pribadi. Cukup sebarkan kecemasan kepada lawan politik, maka potensi keberhasilannya pun tinggi.
Yang terakhir, politik kecemasan adalah cara yang sah-sah saja di alam demokrasi. Namun, sebagai orang yang memiliki energi untuk berpikir, saya mengajak masyarakat untuk menjauhi politisi yang menggunakan politik kecemasan untuk mendapatkan kekuasaan. Karena jika ia mendapatkan kekuasaan dengan cara memancing kecemasan masyarakat, maka ia akan mempertahankan masyarakat agar selalu cemas.
Padahal kecemasan politik hanya dapat diatasi dengan keterdidikan. Artinya, politisi yang mendapatkan kekuasaannya dengan politik kecemasan, tidak akan peduli dengan pendidikan Indonesia. Ia tahu, jika masyarakat Indonesia terdidik, maka akan hilang kecemasannya. Jika hilang kecemasannya, maka ia dan kelompoknya tidak akan berkuasa kembali.
*Penulis adalah dosen Psikologi Politik, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)