REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sisa hujan dari sore hingga semalam membuat pagi di Kampung Kauman Yogyakarta terasa lebih sejuk, suasana tenang melingkupi kawasan tersebut. Namun di depan Mushola 'Aisyiyah, sudah tampak sejumlah orang sedang sabar menunggu untuk menikmati satu sajian yang cukup terkenal di sana.
Setelah setengah jam menunggu, lapak gudeg yang dikelola Yu Hadi sudah siap melayani pembeli. Dengan dibantu menantunya, Yu Hadi segera meladeni pesanan satu per satu pembeli yang datang pagi itu.
Lapaknya pun sederhana, tidak ada kursi, tidak menyediakan minuman. Hanya ada satu meja tempat menaruh gudeg, besek, dan daun pisang.
“Biasanya kami buka setiap hari, dari pukul 05.00 sampai 09.00 WIB kecuali di bulan Ramadhan, masih bisa pesan namun dikenakan dengan harga maksimal dan minimal pemesanan,” ujar menantu Yu Hadi, yang enggan dikutip namanya.
Mungkin banyak yang tidak tahu siapa Yu Hadi, bahkan asing. Yu Hadi adalah adik dari Yu Djum, salah satu legenda gudeg dari Yogyakarta. Saat ini, ia berumur 85 tahun. “Yu Djum itu kakak saya. Saya sendiri memiliki nama kecil Patinah dan nama tua Adi Sumartono,” kata Yu Hadi dengan agak serak.
Awalnya, Yu Hadi berjualan keliling dengan kakaknya itu. Kebanyakan pelanggannya berasal dari daerah Kauman ini. Lantas dia memutuskan membuka lapaknya di sini.
"Saya tidak membuka cabang dan 'teteg manggon' di sini karena yakin bahwa rezeki orang sudah diatur Tuhan, ya rezeki saya jualan di sini,” ujarnya.
Habis tidak habis dagangannya, Yu Hadi tetap setia pada jadwal hariannya. Sekarang di usianya yang ke-85 dengan cucu 17 buyut 8 pun dia masih tetap melakukan rutinitas itu. Membuat gudeg sudah mendarah daging seperti tutur Yu Hadi, “Mboten remen mbegogok, kudu kerjo, obah.”
Yu Hadi masih memakai cara tradisional, memasak gudeg memakan waktu seharian. Memasaknya menggunakan kayu bakar. Selanjutnya, telur bebek dimasak tiga kali dari direbus lalu dihitamkan dengan gula Jawa.
Lantas diangkat dan dicuci dengan air panas setelahnya dimasak dengan brambang dan salam. Proses memasak telur itu kurang lebih selama enam jam. Adapun proses memasak ayam direbus sampai matang lalu setelah Magrib dimasak dengan bumbu bersama sisa jualan, kalau masih ada. Semua itu dilakukan sendiri oleh Yu Hadi.
Rasa gudeg Yu Hadi berbeda dengan gudeg Yu Djum. Gudeg kakaknya dikenal oleh kebanyakan lidah wisatawan, yang memiliki kekhasan gudeg Yogyakarta yaitu manis pekat. Sedangkan, gudeg Yu Hadi memiliki ciri khas tersendiri.
Seperti diuraikan Retno Budiwati, salah satu pelanggan, gudeg Yu Hadi memiliki rasa yang tidak terlalu manis, gurih, dan ada pedasnya. Tidak hanya soal rasa, Gudeg Yu Hadi hanya dapat ditemui di Kauman.
“Saya berlangganan karena gudeg di sini gurih, tidak terlalu manis, sedang-lah, soalnya gudeg terkenalnya manis tapi lidah saya tidak suka yang terlalu manis.”
Retno menambahkan, dirinya sering menjadikan gudeg Yu Hadi sebagai oleh-oleh dan jamuan Lebaran untuk keponakan dan saudara-saudara yang ke sini. "Pernah juga pesan untuk prasmanan nikahan keponakan di Ngawi,” kata dia.
Gudeg manis mungkin bukan kuliner yang ramah di lidah sebagian wisatawan. Khususnya yang daerah asalnya cenderung memiliki rasa pedas atau asin.
Sri Owen, penulis buku Indonesian Regional Food & Cookery, mengatakan gudeg adalah makanan paling enak dan memuaskan di antara semua kuliner Yogyakarta. Menurutnya, makanan unik yang didominasi oleh rasa manis tersebut bagi sebagian wisatawan perlu waktu untuk dinikmati.
Namun, sekali mereka sudah mencoba gudeg di tempat yang tepat akan menyadari betapa enaknya gudeg. Tempat yang tepat untuk makan gudeg mungkin tergantung dengan selera setiap orang. Dan salah satu tempat makan gudeg dengan rasa yang tidak terlalu manis adalah gudeg Yu Hadi.