REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, mendorong peneliti perguruan tinggi menghasilkan banyak inovasi teknologi teknik rekayasa gempa. Ini dalam rangka mendukung konstruksi pembangunan rumah, bangunan dan infrastruktur tahan gempa.
Ia mengingatkan, Indonesia merupakan negara yang berada dalam kawasan bencana, terutama bencana gempa bumi. Basuki menyebutkan, setiap kejadian bencana gempa bumi yang melanda selama ini banyak menelan korban jiwa dan kerugian materi.
Beberapa kejadian bencana gempa bumi dalam beberapa tahun terakhir seperti gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah 2006, Aceh 2016, Lombok 2018, Palu 2018 dan Mamuju 2021. Artinya, Indonesia memang rentan terkena bencana gempa bumi.
Pemerintah menyiasatinya dengan menyiapkan desain bangunan dan infrastruktur yang tahan gempa dengan ukuran sesuai konsep mitigasi bencana. Kementerian PUPR, untuk mengantisipasi resiko kerusakan akibat gempa terus melakukan mitigasi.
Diterapkan kepada proyek-proyek pembangunan perumahan dan proyek pembangunan infrastruktur dengan konsep desain tahan terhadap goncangan gempa bumi. Bahkan, berbagai proyek bendungan dan jembatan menggunakan pula konstruksi tahan gempa.
"Dari desain bangunan jembatan, DAM hingga konstruksi infrastruktur lepas pantai. Kita selalu melakukan evaluasi kinerja seismik dan menerapkan rehabilitasi struktur bangunan dengan desain tahan gempa," kata Basuki dalam Konferensi Internasional Rekayasa Gempa (ICEEDMS), Fakultas Teknik UGM, Rabu (28/9).
Basuki menyebutkan Jembatan Holtekamp di Teluk Youtefa, Jayapura, Papua dan Jembatan Merah Putih di Teluk Dalam, Kota Ambon, Maluku. Keduanya jadi contoh proyek pembangunan jembatan yang memakai struktur dan konstruksi tahan gempa.
Basuki menyinggung kota-kota besar Indonesia yang saat ini bermunculan bangunan bertingkat dan diharuskan menggunakan konstruksi bangunan tahan gempa. Termasuk, pembangunan asrama mahasiswa dan Rumah Instan Sederhana dan Sehat (RISHA).
Hal ini sebagai perwujudan sebuah rumah dengan desain modular, yang mana dapat diubah atau dikembangkan sesuai dengan keinginan penghuninya. Rumah sederhana tersebut mampu dibangun dengan cepat dan memiliki kemampuan tahan gempa.
"Perlu ada harmoni dan sinergi antara riset teknik rekayasa gempa, industri dan pemerintah untuk mendukung mitigasi kegempaan baik di Indonesia dan negara lain ," ujar Basuki.
Prof Jonathan Bray dari Universitas California menuturkan, tingkat kerusakan bangunan saat terjadi gempa dipengaruhi kekakuan material tanah di permukaan. Kondisi batuan keras sampai lunak, kedalaman batuan dasar untuk rasio impedansi.
"Kekakuan dan redaman material nonlinier berpengaruh pada regangan geser dengan intensitas goncangan," kata Bray.
Prof Koichi Kusunoki dari Universitas Tokyo menambahkan, pengurangan resiko dan peningkatan ketangguhan masyarakat menghadapi bencana dapat dilakukan dengan mengurangi tingkat kerusakan. Melalui desain rumah dan bangunan tahan gempa.
"Kemampuan pemerintah dalam menyelidiki tingkat kerusakan dengan cepat dan kemampuan merekonstruksi dengan cepat," ujar Kusunoki.