Rabu 08 Mar 2023 12:53 WIB

Haryadi Suyuti Terima Vonis, Kuasa Hukum Sebut Keluarga Keberatan

Selain vonis tujuh tahun penjara, HS juga divonis membayar denda Rp 300 juta.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Terdakwa eks wali kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti  (layar bawah) saat mengikuti sidang daring pembacaan putusan kasus suap penerbitan IMB Apartemen Royal Kedhaton dan Hotel Iki Wae di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Selasa  (28/2/2023).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Terdakwa eks wali kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti (layar bawah) saat mengikuti sidang daring pembacaan putusan kasus suap penerbitan IMB Apartemen Royal Kedhaton dan Hotel Iki Wae di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Selasa (28/2/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Mantan wali kota (walkot) Yogyakarta, Haryadi Suyuti (HS) menerima putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta dengan menjalani masa hukuman tujuh tahun penjara, dengan tidak mengajukan banding. Namun, keluarga HS keberatan atas hukuman tersebut.

Kuasa hukum HS, Muhammad Fahri Hasyim mengatakan, keluarga keberatan karena hukuman tujuh tahun penjara dinilai tidak sebanding dengan apa yang dilakukan HS. HS sendiri divonis tujuh tahun atas tindak pidana korupsi yang menjeratnya yakni kasus suap IMB Royal Kedhaton dan Hotel Iki Wae/Aston Malioboro.

"(Keluarga) Sebaliknya protes karena tidak sebanding dengan apa yang dilakukan. Seharusnya, dengan kerugian yang sangat minim dan vonis yang sebegitu berat, itu tetap keberatan kalau keluarga. Tapi demikian, sebagai warga negara yang baik, tetap harus mengapresiasi apapun. Hakim adalah perwakilan negara dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum di negeri ini," kata Fahri kepada Republika, Rabu (8/3/2023).

Selain vonis tujuh tahun penjara, HS juga divonis untuk membayar denda sebesar Rp 300 juta. HS dikatakan juga sudah menyanggupi untuk membayar denda tersebut.

Ia menyebut bahwa HS kooperatif dan mengapresiasi vonis yang sudah diputuskan oleh majelis hakim. Meski begitu, kata Fahri, vonis denda ini juga dinilai berat karena tidak sesuai dengan kerugian yang ditimbulkan atas tindak pidana korupsi yang dilakukan terpidana.

"Itu semua adalah pertimbangan hukum majelis dengan berpijak pada UU yang ada, kan ada minimalnya itu Rp 250 (juta) sampai sekian miliar, kan seperti itu. Itu saya kira secara finansial keberatan, karena kurang dari itu kerugian-kerugian yang ditimbulkan. Namun demikian, itu hak sepenuhnya dari majelis hakim untuk memutuskan hal yang demikian," ujar Fahri.

Vonis terhadap HS diputuskan dalam sidang yang digelar di PN Yogyakarta, Selasa (28/3) pekan kemarin. Vonis hakim lebih tinggi dari putusan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 6,5 tahun.

HS juga turut dijatuhi pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 165 juta. Tidak hanya itu, hakim juga mencabut hak dipilihnya HS dalam pemilihan jabatan publik selama enam tahun, terhitung saat terdakwa selesai menjalani pidana pokok.

Usai sidang, Fahri juga sudah menyebut putusan atau vonis yang dijatuhkan kepada HS merupakan hak sepenuhnya dari majelis hakim. Meski begitu, Fahri menyoroti terkait pembelaan dari HS dan penasehat hukumnya yang tidak digubris oleh majelis hakim.

"Putusannya lebih tinggi dari tuntutannya, itu sepenuhnya hak majelis hakim yang menilai. Namun yang kami komentari adalah bahwa pembelaan kami sama sekali tidak digubris," ujar Fahri waktu itu.

Ia mengungkapkan hal-hal yang meringankan HS juga tidak disinggung oleh majelis hakim. Untuk itu, pihaknya sebagai penasehat hukum HS akan tetap mengupayakan untuk meringankan hukuman HS.

"Hal-hal yang meringankan juga tidak disinggung, pengembalian dan niat batin juga tidak dipertimbangkan oleh majelis (hakim). Kami sebagai penasehat hukumnya tetap mengupayakan peringanan (hukuman) dengan berpikir dalam dua pekan ini," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement