Jumat 17 Mar 2023 11:09 WIB

Majelis Dewan Guru Besar PTN-BH Minta Aturan Profesor Kehormatan Ditinjau Ulang

Profesor kehormatan berbeda dengan gelar doktor honoris causa.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Fernan Rahadi
Profesor Kehormatan (ilustrasi)
Foto: yeppopo.wordpress.com
Profesor Kehormatan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (MDGB PTN-BH) mendorong agar aturan penerima profesor kehormatan dapat ditinjau kembali. Rekomendasi ini muncul setelah MDGB PTN-BH melaksanakan Sidang Paripurna di Ijen Suites Hotel, Kota Malang, baru-baru ini.

Ketua MDGB PTN-BH, Profesor Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan, Sidang Paripurna ini sebenarnya memiliki sejumlah hasil yang direkomendasikan untuk beberapa pihak termasuk pemerintah.

"Yang pertama, kami sangat peduli terhadap beberapa ketentuan yang berkaitan dengan akademik yaitu yang pertama tentang profesor kehormatan," kata Harkristuti saat ditemui Republika di Ijen Suites Hotel, Kamis (16/3/2023).

MDGB PTN-BH menganggap perlu dilakukan peninjauan kembali ketentuan profesor kehormatan agar tidak diberikan dengan cara terlampau sederhana. Sebab, ketentuan profesor kehormatan ini mewajibkan adanya Tri Dharma. Hal ini berarti penerima profesor kehormatan harus melakukan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Jika penerima profesor kehormatan tidak melakukan Tri Dharma, maka jabatan tersebut harus dicabut. Oleh karena itu, pihaknya mengajukan usulan kepada Kemendikbud-Riset agar aturan tersebut ditinjau kembali. Aturan profesor kehormatan sendiri tertera dalam Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021.

Sebelum ada profesor kehormatan, Harkristuti mengungkapkan, dulu sebenarnya sudah ada jabatan profesor tidak tetap. Terkait hal ini, MDGB PTN-BH tidak mempermasalahkannya karena statusnya tidak tetap. Hal ini berarti penerima tidak memiliki kewajiban untuk mengajar, meneliti, melakukan publikasi dan melaksanakan pengabdian kepada masyarakat.

Namun dengan adanya profesor kehormatan, Harkrisnowo menilai ini justru banyak yang mempergunakannya bukan untuk menjadi dosen. Padahal tugas penerima jabatan profesor kehormatan sama dengan dosen. "Tidak mungkin juga orang yang nggak pernah sekolah suruh ngajar S-3 bimbingan, jadi promotor padahal nggak pernah sekolah. Kan kita rada bingung nanti seperti apa kualitas dari lulusan kami. Ini jadi konsen kami semua," jelasnya.

Untuk diketahui, profesor kehormatan termasuk jenjang jabatan akademik profesor yang diberikan sebagai penghargaan. Jabatan ini biasanya diberikan kepada kalangan non-akademik yang memiliki kompetensi luar biasa. Beberapa kriteria penerima ini antara lain memiliki kualifikasi akademik minimal doktor, berkompetensi, berprestasi dan berpengetahuan luar biasa, mempunyai pengalaman luar biasa yang relevan dengan prestasi, serta berusia paling tinggi 67 tahun.

Profesor kehormatan sendiri berbeda dengan gelar doktor honoris causa.  Gelar doktor honoris causa biasanya diberikan berdasarkan kontribusi sedangkan profesor kehormatan dilihat dari hasil kerja. Di samping itu, penerima profesor kehormatan memiliki kewajiban untuk melakukan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Adapun salah satu sosok yang pernah menerima jabatan tersebut, yakni Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri. Anugerah ini diterima Megawati Soekarnoputri dari Universitas Pertahanan (Unhan), Jumat (11/6/2021). Jabatan Profesor Kehormatan Ilmu Pertahanan Bidang Kepemimpinan Strategik diresmikan melalui sidang senat terbuka Fakultas Strategi Pertahanan Unhan di Aula Merah Putih, Kampus Bela Negara Unhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement