REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Gadjah Mada (UGM) masih melakukan kajian akademik terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi. Ketua Tim Kajian Regulasi Profesor Kehormatan UGM, Andi Sandi Antonius, mengatakan kajian tersebut kini sudah masuk tahap finalisasi.
"Progressnya sudah finalisasi dan kemungkinan besar pekan depan akan disampaikan ke Ibu Rektor," kata Andi kepada Republika, Jumat (3/3/2023).
Pada prinsipnya, ujar dia, sebagian anggota tim tetap sepakat bahwa penghargaan kepada kandidat dari golongan non-akademisi tetap akan diberikan. Namun bentuknya bisa menggunakan doctor honoris causa.
"Apabila suatu saat ada keinginan untuk memberikan pada level profesor, maka akan diusulkan penggunaan professor of practice atau honorary fellow," ujarnya.
Setelah nantinya disampaikan kepada rektor UGM, rektor akan menyampaikan hasil kajian tersebut kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek). Selain itu tim juga mengusulkan rektor UGM untuk mendiseminasi hasil kajian tersebut ke internal dan eksternal.
"Tujuannya, untuk menunjukkan sikap UGM terhadap gelar profesor kehormatan dan kebijakan internal yang akan ditempuh UGM ke depannya," ungkapnya.
Sebelumnya diketahui, para dosen UGM melakukan penolakan terhadap wacana penganugerahan gelar profesor kehormatan kepada individu-individu di luar non-akademik. Dalam sebuah dokumen yang viral di dunia maya, para dosen menyampaikan sejumlah alasan penolakan tersebut.
"Profesor merupakan jabatan akademik, bukan gelar akademik. Jabatan akademik memberikan tugas kepada pemegangnya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban akademik. Kewajiban-kewajiban akademik tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pekerjaan dan atau posisi di sektor non-akademik," bunyi poin pertama dokumen tersebut.