REPUBLIKA.CO.ID, MALANG – Ramadhan hanya tinggal menghitung hari. Umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Jawa Timur (Jatim), pun sudah sangat menantikan bulan penuh kerahmatan tersebut.
Untuk menyambut Ramadhan, ada banyak cara yang dilakukan umat Muslim di Indonesia. Beberapa ada yang berkeliling kampung menggunakan obor seperti di Tangerang Selatan dan sekitarnya. Ada pula yang menyambutnya dengan melaksanakan tradisi Megengan di Jawa Timur (Jatim).
Masjid Al-Fatih di wilayah Desa Sukodadi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Provinsi Jatim, termasuk salah satu tempat yang turut melaksanakan tradisi Megengan. Masyarakat di wilayah tersebut termasuk rutin melaksanakan tradisi ini setiap tahunnya.
Tradisi ini biasanya dilaksanakan beberapa malam sebelum memasuki Ramadhan. Berdasarkan pengamatan Republika, kegiatan Megengan di Masjid Al-Fatih mulai dilaksanakan setelah shalat Maghrib.
Namun sebelum acara puncak tersebut, takmir terlebih dahulu melaksanakan khotmil Quran sejak pagi hari. Beberapa masyarakat yang memiliki kemampuan baik dalam membaca Alquran terlibat dalam tahapan ini.
Perwakilan takmir Masjid Al-Fatih, Syahroni mengatakan, Megengan termasuk sebuah tradisi di masyarakat dalam rangka menyambut masa suci Ramadhan. Jika umat Muslim senang dalam menyambut Ramadhan, maka mereka akan digolongkan sebagai kelompok masuk surga.
“Dan semoga kita mendapatkan pahala yang lebih besar dan lebih baik dibandingkan Ramadhan tahun lalu,” jelasnya di Masjid Al-Fatih, Ahad (19/3/2023) malam.
Di sisi lain, Megengan juga dikenal sebagai cara masyarakat Muslim mengirimkan doa untuk para leluhurnya. Sebab itu, Megengan biasanya diselipkan kegiatan tahlilan, doa, dan shalawat. Kemudian acara akan ditutup dengan mengonsumsi makanan berkat bersama masyarakat yang hadir.
Danan Tricahyono dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Tradisi Meganan dan Muatan Pendidikan Nilai sebagai Enrichment dalam Pembelajaran Sejarah di Kabupaten Trenggalek menjelaskan, Megengan tidak hanya dilaksanakan di Jatim tetapi Jawa Tengah (Jateng) juga. Selain untuk mengirim doa untuk leluhur, tradisi ini juga dianggap sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT agar diberikan kekuatan lahir dan batin dalam melaksanakan puasa.
Menurut Danan, Megengan yang identik dengan tradisi kirim doa kepada leluhur diyakini konsep tersebut telah ada sejak zaman pra-Islam. Namun kedatangan Islam membuat adanya dekonstruksi nilai-nilai tradisi dan kebudayaan yang terkandung di dalamnya. “Dengan tanpa menghilangkan wujud tradisi tersebut,” ujarnya.
Pada kegiatan megengan, ada sejumlah makanan yang diwajibkan harus ada. Berdasarkan pengamatan Republika di Masjid Al-Fatih, takmir terlihat menyediakan nasi tumpeng beserta lauk-pauknya. Kemudian juga terlihat apem, buah, dan kuliner tradisional lainnya.
Danan dalam penelitiannya menyebutkan, tradisi Megengan memang menyediakan sejumlah kuliner khasnya. Beberapa di antaranya seperti nasi, apem, serundeng (parutan kelapa yang digoreng bersama gula merah), kacang (kacang cina atau kedelai), lauk-pauk (tempe, tahu, telur) dan ayam yang digoreng atau dimasak dengan bumbu kuning (lodho).
Tak jarang ada pula yang menyiapkan jenang sepuh, jenang sengkala, dan metri. Fauzi Himma Shufya dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Makna Simbolik dalam Budaya 'Megengan' Sebagai Tradisi Penyambutan Bulan Ramadhan (Studi tentang Desa Kepet, Kecamatan Dagangan) mengatakan, kue apem termasuk makanan tradisional yang masih bertahan hingga kini.
Kuliner ini juga sering digunakan pada acara sakral masyarakat khususnya masyarakat Jawa. Hal ini terutama dalam acara doa atau tahlilan di masyarakat. Khusus di acara Megengan, apem dinilai sebagai simbol permohonan maaf seseorang.
Sebagaimana diketahui, Ramadhan termasuk bulan yang suci dan penuh ampunan bagi umat Muslin. “Sehingga masyarakat menilai tradisi Megengan dijadikan sebagai bersih diri dari dosa,” ujarnya.