Oleh : M Nurdin Zuhdi*
REPUBLIKA.CO.ID, Hakikat puasa Ramadhan bukan hanya mengajarkan kesalehan individual saja, namun juga kesalehan sosial. Apa lagi Ramadhan kali ini adalah Ramadhan pasca-wabah pandemi. Ramadhan tahun ini adalah masa-masa kebangkitan setelah kurang lebih tiga tahun dunia dilanda wabah yang menakutkan.
Di saat ini sisi kemanusiaan kita benar-benar sedang diuji. Apakah kita memiliki nilai-nilai kepedulian pada sesama? Ini cara Allah untuk mengetahui hamba-Nya yang paling mulia dan terpuji (QS Al-Mulk [67]: 2).
Belajar dari Kesalehan yang Sia-sia
Dikisahkan di dalam kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam Ghazali, dahulu ada seorang yang taat beribadah bernama Abu bin Hasyim. Hasyim dikenal sebagai seseorang yang tidak pernah meninggalkan shalat tahajud (qiyamullail) selama puluhan tahun. Sebagian sumber ada yang mengatakan bahwa Hasyim tidak pernah sekalipun meninggalkan shalat tahajud (qiyamullail) selama 20 tahun berturut-turut. Terbayang, betapa salehnya orang ini.
Suatu ketika, pada saat Hasyim akan mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat tahajud, tiba-tiba Hasyim dikagetkan dengan keberadaan sesosok makhluk yang berdiri di dekat tepat wudhu. Hasyim pun bertanya kepadanya: "Wahai hamba Allah, siapakah engkau?"
Sambil tersenyum, sosok itu menjawab: "Aku adalah Malaikat utusan Allah SWT." Hasyim terkejut, sekaligus bangga karena dikunjungi tamu yang tidak biasa, yaitu Malaikat mulia. Kemudian Hasyim bertanya kepada Malaikat tersebut: "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?". Malaikat tersebut menjawab: "Aku disuruh untuk mencari hamba pecinta Allah SWT."
Melihat malaikat tersebut membawa sebuah buku tebal membuat Hasyim penasaran hingga ia bertanya lagi: "Wahai malaikat, buku apakah yang engkau bawa?" Sang Malaikat menjawab: "Ini adalah buku yang berisi kumpulan nama-nama para hamba pecinta Allah SWT."
Mendengar jawaban tersebut, Hasyim berharap dalam hatinya bahwa namanya terdapat dalam buku tersebut. Lalu bertanyalah Hasyim kepada sang Malaikat: "Wahai Malaikat, adakah namaku tercantum di situ?"
Hasyim yang dikenal ahli ibadah, merasa bahwa namanya pantas tercantum di dalam buku tersebut. Karena Hasyim merupakan sosok yang selalu menunaikan shalat tahajud setiap malam selama bertahun-tahun tanpa putus. Di saat orang-orang tertidur lelap, Hasyim selalu bangun di sepertiga malam untuk berdoa dan bermunajat kepada Allah SWT.
Kemudian sang Malaikat memeriksa nama Abu bin Hasyim di dalam buku tersebut. Namun sang Malaikat tidak menemukan namanya.
Kemudian Hasyim meyakinkan kembali agar sang Malaikat memeriksa sekali lagi, barangkali namanya terlewatkan. Namun sang Malaikat tetap tidak menemukan namanya. Sang Malaikat kemudian berkata kepada Abu bin Hasyim: "Betul, namamu tidak ada di dalam buku ini."
Mendengar hal tersebut, Hasyim tubuhnya gemetar dan jatuh tersungkur di depan sang Malaikat. Dia menangis sesenggukkan sambil berkata: "Betapa ruginya diriku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud dan bermunajat, tetapi namaku ternyata tidak masuk dalam golongan para hamba pecinta Allah SWT."
Mendengar hal itu, sang Malaikat kemudian berkata kepada Hasyim: "Wahai Abu bin Hasyim, bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam (selama bertahun-tahun) untuk mengambil air wudhu dalam kedinginan pada saat orang lain terlelap dalam buaian malam. Namun, tanganku dilarang Allah SWT untuk menuliskan namamu dalam buku ini."
Mendengar Malaikat berkata tersebut, sambil berlinang air mata Hasyim bertanya kepada Malaikat: "Apa gerangan yang menjadi penyebabnya, hingga Allah SWT melarang untuk menuliskan namaku di dalamnya?"
Sang Malaikat menjawab: "Engkau memang ahli beribadah kepada Allah SWT, namun sayangnya engkau pamerkan kemana-mana ibadahmu dengan penuh rasa bangga dan engkau juga asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Padahal di kanan-kirimu ada orang sakit dan lapar, tidak engkau jenguk dan tidak engkau beri makan. Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pecinta Allah SWT dan dicintai oleh-Nya, kalau engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba-hamba yang diciptakan Allah SWT?"
Mendengar hal tersebut, Hasyim bagaikan tersambar petir di siang bolong. Hasyim seketika tersadar bahwa hubungan ibadah manusia ternyata tidak cukup hanya kepada Allah SWT saja (hablum minallah), namun juga hubungan sesama manusia (hablum minannas) dan alam/lingkungan (hablum minal’alam).
Pentingnya Kesalehan Sosial
Jangan pernah merasa bangga dengan kesalehan individual yang selama ini kita kerjakan seperti shalat, puasa, haji, umrah, zakat, dan lain-lainnya, jika tidak dibarengi dengan kesalehan sosial, seperti rasa solidaritas pada sesama manusia dan makhluk ciptaan-Nya. Ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat dan yang lainnya, tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Tidak ada artinya sujud dan puasa bertahun-tahun, jika ternyata ada tetangga kita yang sedang kelaparan dan kesusahan.
Bahkan mereka yang mengabaikan anak-anak yatim dan tidak mau memberi makan kepada fakir-miskin oleh Allah SWT disebut sebagai ‘pendusta agama’ (QS Al-Ma’un [107]: 1-7). Di luar sana banyak saudara kita yang sedang menanti uluran tangan kita.
Ramadhan adalah kesempatan terbaik untuk mengasah kesalehan sosial. Jangan sampai kita lalai hanya mengejar kesalehan individual saja, hingga kemudian kita melupakan kesalehan sosial yang juga tidak kalah penting. Muslim yang baik adalah yang seimbang dalam hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal’alam.
*Universitas Aisyiyah Yogyakarta