Kamis 11 May 2023 11:49 WIB

Rektor UII: Perbedaan Identitas Fakta Sosial Bangsa Indonesia

Fathul menekankan pentingnya persatuan yang dirajut oleh bangsa Indonesia selama ini.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid berkunjung ke kantor Republika, Jalan Warung Buncit, Jakarta, Kamis (23/1).
Foto: Thoudy Badai_Republika
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid berkunjung ke kantor Republika, Jalan Warung Buncit, Jakarta, Kamis (23/1).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, berbicara mengenai politik identitas di Indonesia. Ia mengatakan, dalam politik, perbedaan perspektif dan pendapat merupakan hal yang lumrah. Namun, ia menggarisbawahi bahwa politik identitas hendaknya tidak didasari pada kepentingan sesaat dan sesat.

"Perbedaan identitas ini adalah fakta sosial dan merupakan sunatullah (QS Al-Hujurat 13). Karena itulah dalam berinteraksi perlu dibalut nilai-nilai agung, termasuk kesetaraan sesama anak bangsa, apapun latar belakangnya," kata Fathul dalam sambutannya di acara Peluncuran Kantor TCID di Universitas Islam Indonesia, Kamis (11/5/2023). 

Fathul juga menjelaskan, tidak ada definisi tunggal untuk istilah 'politik identitas'. Namun, secara umum politik identitas, menurut dia, dikaitkan dengan agenda, aksi, aktivisme politik yang di dalamnya anggota kelompok berbasis identitas mengorganisasi dan memobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan yang dialami karena struktur, sistem, dan praktik yang hegemonik.

"Pelacakan literatur menemukan bahwa ketika lahir di 1970-an di Amerika, politik identitas merupakan gerakan untuk melawan ketidakadilan. Sebagai contohnya adalah perjuangan perempuan kulit hitam di Amerika yang sangat itu menjadi warga kelas dua, di bawah penindasan kulit putih. Pada saat itu, identitas didasarkan pada keadaan minoritas, ras, etnisitas, dan kelompok sosial lain yang merasa terpinggirkan. Dalam perkembangan selanjutnya, identitas didasarkan pada agama, kepercayaan, dan ikatan kultural yang beragam," katanya menjelaskan. 

Menurut dia, yang diperjuangkan politik identitas kala itu merupakan keseteraan untuk semuanya tanpa mengabaikan kepentingan bersama. Namun, dalam praktik politik identitas dalam beberapa tahun terakhir, frasa 'tanpa mengabaikan kepentingan bersama' dipertanyakan. 

"Bangsa Indonesia sejak kelahirannya sudah kaya dengan perbedaan. Indonesia adalah bangsa yang plural. Ini adalah fakta sosial bangsa ini yang tidak bisa kita nafikan. Semangat persatuan yang kita gaungkan pun bukan berarti dibarengi dengan menutup mata dari semua perbedaan yang ada," tuturnya. 

Fathul menambahkan, isu politik identitas di Indonesia tercatat sudah digunakan sejak pertengahan atau akhir 1990-an. Menurut dia, media sosial dinilai turut berperan dalam penggunaan isu politik identitas tersebut.

"Di sinilah diperlukan literasi digital yang cukup, selain kesadaran etis yang baik. Bumbu misinformasi dan hoaks, bingkai peyorasi yang mendiskreditkan kelompok lain. Alih-alih menuju kepada keadilan dan kesetaraan untuk kebaikan bersama, bandul pendulum akan menuju kepada ekstrem yang lain," katanya. 

Ia menekankan pentingnya persatuan yang dirajut oleh bangsa Indonesia selama ini. Ia berharap, jangan sampai persatuan bangsa itu tergadaikan untuk kepentingan kelompok mana pun, yang mengabaikan kebaikan bersama sebagai sebuah bangsa. 

"Tidak ada boleh ada sekelompok anak bangsa yang merasa paling unggul dan merendahkan liyan. Apa pun dalihnya. Semua anak bangsa harus dilihat setara," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement