Ahad 21 May 2023 07:33 WIB

Mahkamah Agung Didorong Keluarkan Pedoman Penjatuhan Pidana Mati

Pidana mati bersifat irreversible sehingga hakim seyogianya lebih sensitif.

Hukuman mati (ilustrasi).
Foto: Republika/Mardiah
Hukuman mati (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pidana mati yang juga dikenal sebagai hukuman mati telah diterapkan di Indonesia untuk beberapa kasus kejahatan serius. Tioria Pretty dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam FGD bertajuk 'Kesenjangan Pengaturan Pidana Mati dalam KUHP Baru dengan Status Quo: Masalah dan Urgensi' belum lama ini, menjelaskan, bahwa sebelum memasuki tahun 2023, Pengadilan di Indonesia telah melaksanakan pidana mati terhadap narapidana yang dinyatakan bersalah atas kasus-kasus seperti narkotika, terorisme, pembunuhan berencana, dan beberapa kejahatan lainnya.

Di sisi lain, Pengundangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU 1/2023) menandakan terjadinya perubahan politik hukum terhadap pidana mati di Indonesia.

Pasal 100 UU No 1 Tahun 2023 mengatur penjatuhan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun yang dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup jika selama masa percobaan terpidana dianggap melakukan sikap dan perbuatan terpuji. 

Perubahan tersebut, dinilai sebagai langkah maju. Karena itu, ia  memberikan 2 (dua) catatan terhadap praktik peradilan pidana yang menangani perkara dengan ancaman hukuman mati yang selama ini berjalan. "Integritas dan independensi hakim yang memutus perkara harus sepenuhnya memahami situasi perkara secara utuh, dan lepas dari tekanan termasuk opini publik," katanya dalam siaran pers, Ahad (21/5/2023).

Disampaikan Pretty, pidana mati bersifat irreversible sehingga hakim seyogianya lebih sensitif untuk melihat adanya aspek-aspek lain dari yang ditampilkan di dalam persidangan. Hal ini untuk mencegah terjadinya unfair trial, misalnya kemungkinan adanya penyiksaan (intimidasi) selama proses sebelum persidangan. "Selain itu, perlu ada tolok ukur yang lebih objektif sebelum dapat menentukan apakah pelaku tindak pidana dapat dijatuhi dengan pidana mati," katanya.

Pretty pun menambahkan bahwa penjatuhan pidana mati perlu didasarkan pada pertimbangan dari pelbagai aspek. Kata dia, hakim perlu juga menilai bagaimana kondisi dari keluarga terdakwa dan juga faktor-faktor yang mungkin meringankannya.

Dalam hal ini, sudah sewajarnya agar Mahkamah Agung segera membuat suatu pedoman pemidanaan pedoman pemidanaan sebagai rambu-rambu bagi majelis hakim sebelum menjatuhkan pidana mati, sehingga dapat membawa rasa keadilan dan konsistensi penerapan hukuman mati di tanah air. 

Pretty menambahkan, perubahan ini perlahan-lahan mengikis penggunaan pidana mati dalam sistem hukum Indonesia yang masih didukung sebagian besar masyarakat Indonesia. "Masih banyak (masyarakat Indonesia) yang mendukung penggunaan pidana mati, sehingga terobosan seperti ini juga perlu dibarengi dengan upaya edukasi dan sosialisasi. Meskipun beberapa hal harus terus dipantau ke depannya, seperti timbulnya lapak-lapak suap baru dalam mendapat keterangan berkelakuan baik," kata Pretty.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement