Selasa 30 May 2023 11:47 WIB

Pakar Hukum Tata Negara Tanggapi Mantan Napi Korupsi Boleh Nyaleg di 2024

Tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Petugas memeriksa berkas pendaftaran bakal calon legislatif Pemilu 2024 pada hari terakhir di KPU (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Petugas memeriksa berkas pendaftaran bakal calon legislatif Pemilu 2024 pada hari terakhir di KPU (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sebentar lagi digelar. Banyak isu menarik yang bisa dibahas, termasuk dibolehkannya mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg).

Dosen dan ahli hukum tata negara serta hukum administrasi negara Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Catur Wido Haruni, pun memberikan tanggapannya. Ia menjelaskan bahwa tidak ada yang salah dengan aturannya. "Yang salah adalah mereka yang membuat aturannya," kata Catur.

Aturan tersebut kemungkinan dilatarbelakangi banyak mantan narapidana kasus korupsi yang ingin kembali berkecimpung di dunia politik. Kemudian dengan banyak siasat lahirlah peraturan ini karena kepentingan-kepentingan politik.

Para narapidana kasus korupsi ini dapat mendaftar sebagai caleg karena merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 pasal 240 (1) huruf G tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Aturan tersebut menyebutkan tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar.

Pada poin ini dijelaskan bahwa calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.

"Hal ini berarti walaupun sudah lebih dari lima tahun penjara, jika ia mengatakan secara terbuka bahwa ia merupakan mantan terpidana ataupun koruptor, maka ia tetap memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai caleg," jelasnya.

Lalu jika melihat UUD 1945 pasal 28J (1), dikatakan bahwa masyarakat harus menghormati hak asasi orang lain. Namun pada pasal 28J (2) dijelaskan pula, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Hal ini dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Walaupun semua orang memiliki hak dan kebebasan dalam berpolitik, tidak semua orang masuk ke dalam kriteria tersebut.

Sebab itu, memang ada batasannya termasuk kriteria pendaftar caleg ini. Catur mengatakan, pasal 240 ini pernah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Lalu lahirlah putusan MK yang menyatakan mantan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri dengan syarat telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan.

Kemudian secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Meskipun demikian, dia menilai itu semua kembali kepada para pemilihnya atau rakyat, karena kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Maka dari itu, rakyat pun harus cerdas dan jangan memilih hanya karena fanatik terhadap partai.

Masyarakat perlu melihat track record dari calon pemimpin yang ingin dipilih. Karena kedaulatan tertinggi ada d di tangan rakyat, maka rakyat harusnya bisa memilih pemimpin yang baik dan berintegritas. Jika rakyat cerdas, maka para narapidana korupsi ini tidak akan terpilih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement