REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemendikbudristek mengingatkan perguruan tinggi negeri (PTN) untuk tidak melanggar prinsip pendidikan tinggi, yakni tak boleh ada mahasiswa yang berpotensi untuk belajar, tapi tak bisa kuliah karena tidak bisa membayar uang kuliah. Apabila ada calon mahasiswa yang dipaksa untuk membayar uang kuliah dengan nominal tertentu, mereka dapat melaporkannya untuk ditindaklanjuti.
"Itu tidak boleh terjadi. Tidak boleh ada mahasiswa yang potensinya secara akademis dia sebenarnya layak menjadi mahasiswa sampai tidak jadi kuliah karena alasan ekonomi," kata Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Nizam, Ahad (16/7/2023).
Nizam menyampaikan, Kemendikbudristek terus melakukan pengawasan agar prinsip tersebut tidak dilanggar oleh semua PTN. Menurut Nizam, apabila ada calon mahasiswa yang dipaksa membayar UKT dengan nominal tertentu, calon mahasiswa itu dapat melaporkannya kepada Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek untuk ditindaklanjuti.
"Bisa lapor ke Dikti dan itu pasti kita tindak lanjuti dengan baik, pemeriksaan dari Ditjen. Dan itu sudah selalu kita lakukan kalau ada yang seperti itu. Jadi tentu kita akan tindak lanjuti. Termasuk nanti ya penaltinya pada perguruan tinggi itu dalam pendanaan," kata dia.
Dia juga menyatakan, biaya uang kuliah tunggal (UKT) tidak mahal jika dilihat secara objektif. Jika ada yang tak mampu membayar UKT senilai kategori yang didapatkan, bisa mengajukan keberatan kepada kampus masing sesuai dengan ketentuannya masing-masing.
"Biaya UKT itu sebenarnya kalau kita mau melihat secara objektif, itu tidak mahal. Karena ini kita sudah menghitung biaya kuliah secara standar ya," ujar Nizam.
Penghitungan biaya kuliah secara standar yang dia maksud berarti sudah dihitung biaya yang diperlukan dalam menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan standar Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek. Angka-angka biaya kuliah tersebut sudah dihitung dan kemudian dipakai sebagai standar maksimum yang boleh dipungut oleh universitas kepada mahasiswa.
"Dan itu harus disesuaikan dengan kemampuan orang tua mahasiswa membayar. Yang tidak mampu ya bisa mendapatkan UKT nol rupiah. Jadi ndak mbayar, gratis. Yang mampu, tapi terbatas bisa membayar Rp 500 ribu, UKT 1. Yang lebih mampu lagi bisa ambil UKT 2 dan seterusnya," kata dia.
Nizam menyampaikan, jika ada mahasiswa yang mendapatkan kategori UKT yang tidak sesuai dengan kemampuan orang tua atau wali, maka bisa mengajukan keberatan. Dengan mengajukan keringanan, kata dia, mahasiswa dapat mendapatkan nominal pembayaran UKT yang lebih kecil dari yang sebelumnya didapatkan dan bisa juga diperbolehkan menyicil pembayaran.
Meski begitu, Nizam menekankan, pihaknya tidak mengimbau kepada masyarakat untuk berbohong perihal kemampuan dalam membayar UKT. Jangan sampai ketika hendak masuk ke perguruan tinggi seseorang mengaku miskin, padahal sang anak pergi ke kampus menggunakan mobil. "Itu kan gak bener. Bayarlah sesuai dengan kemampuan. Karena semua itu kembali ke mahasiswa. Semua yang dibayarkan itu kembali ke mahasiswa," ujar Nizam.
Dia menjelaskan kalimat yang dia sebutkan itu lebih lanjut. Di mana, uang yang dibayarkan oleh mahasiswa itu akan kembali ke mereka dalam bentuk layanan pendidikan yang lebih baik, fasilitas yang semakin bagus, praktikum laboratorium yang lebih baik, dan sarana-prasarana lain yang lebih baik di kampusnya dalam mendukung proses pendidikan mereka.