Selasa 15 Aug 2023 09:56 WIB

Persi DIY: Belum Ada Sinkronisasi UU Kesehatan 2023 dengan BPJS Kesehatan

Mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan pasien menjadi penyebab sepinya lab tersebut.

Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM
Foto: UGM
Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengeluhkan ketidaksinkronan antara aturan yang baru disahkan yakni Undang Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Akibatnya, banyak pasien di akar rumput yang tidak tertangani.

"Sebagai warga negara yang baik, kami harus menaati pemerintah lewat aturannya yang terbaru (UU Kesehatan), akan tetapi di sisi lain tidak ada sinkronisasi antara kemauan pemerintah dengan regulasi yang mengikutinya (UU BPJS)," ujar Ketua Persi DIY, dr Darwito, kepada wartawan, Senin (15/8/2023).

Ia mencontohkan layanan Catheterization Laboratory (Cathlab) di Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM yang sering disebut juga katerisasi jantung. Meskipun RSA UGM sudah berinvestasi sebanyak kurang lebih Rp 25 miliar untuk membangun lab tersebut, namun hanya ada satu pasien yang menggunakan fasilitas tersebut selama hampir setahun sejak didirikan.

Darwito mengungkapkan mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan pasien menjadi penyebab sepinya lab tersebut. Sedangkan para peserta BPJS Kesehatan belum bisa mengakses lab tersebut karena RSA UGM masih harus menunggu persetujuan kerja sama kredensial yang telah diproses sejak bulan Mei 2023.

"RSA UGM berharap agar kerja sama dengan BPJS Kesehatan ini dapat segera dilaksanakan, sehingga hak para peserta BPJS Kesehatan yang ingin melakukan pemeriksaan jantung dapat terpenuhi," kata Darwito yang juga Direktur Utama RSA UGM itu.

Darwito berharap ada win win solution yang bisa menguntungkan semua pihak, misalnya Coordinate of Benefit (CoB) antar asuransi yang ada. Yang menjadi masalah selama ini tidak pernah ada deklarasi dari pihak BPJS Kesehatan terkait solusi yang harus diambil.

"Kalau memang (BPJS Kesehatan) tidak kuat bayar ya solusinya bagaimana, karena ini rakyat butuh. Harus ada win win solution, misalnya ada opsi sharing 50-50. Kami mendorong agar kita sama-sama saling terbuka. Jangan sampai menjadi fenomena gunung es," kata Darwito menambahkan.

Ia berharap Cath Lab RSA UGM yang telah memiliki fasilitas pendukung dan perizinan yang sudah lengkap tersebut bisa segera dinikmati masyarakat. Terutama dalam bentuk peningkatan harapan hidup dan terhindar dari kematian karena serangan jantung. "Peran BPJS Kesehatan sangat kami nantikan," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement