Ahad 03 Sep 2023 12:08 WIB

Pakar Hukum Dorong Undang-Undang Transisi Kepresidenan, Ini Alasannya

Proses transisi Presiden mempunyai makna luar biasa secara simbolis dan tradisi.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Yusuf Assidiq
Istana Merdeka di Jakarta Pusat (ilustrasi).
Foto: Dok Setkab
Istana Merdeka di Jakarta Pusat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, mendukung dilahirkannya Undang-Undang Transisi Kepresidenan. Diharapkan UU itu dapat menjaga peralihan kekuasaan secara tertib, damai, dan bermartabat seusai penyelenggaraan pemilu.

Fahri berpendapat, pentingnya transfer kekuasaan secara damai di Indonesia. Fahri mendorong peralihan kekuasaan eksekutif secara tertib sehubungan dengan berakhirnya masa jabatan presiden sekaligus pelantikan presiden yang baru terpilih.

"Prinsip dasarnya adalah kepentingan nasional mensyaratkan agar peralihan jabatan presiden tersebut dilakukan guna menjamin kesinambungan pelaksanaan pembangunan," kata Fahri dalam keterangan yang dikutip pada Sabtu (2/9/2023).

Fahri meyakini UU Transisi Kepresidenan bisa mencegah potensi gangguan saat pengalihan kekuasaan eksekutif. Sebab gangguan semacam itu dapat berimplikasi pada timbulnya instabilitas sosial politik.

"Masalah itulah yang pada hakikatnya dapat merugikan kepentingan nasional, baik pada aspek keamanan maupun kesejahteraan," ujar Fahri.

Oleh karena itu, ia memandang pembahasan RUU ini penting untuk mereduksi berbagai gangguan yang mungkin timbul pada proses peralihan kekuasaan eksekutif.

Fahri juga menyoroti proses peralihan kekuasaan antara Presiden selama ini belum menunjukkan tradisi ketatanegaraan yang baik. Ia mengamati secara konstitusional pranata pengaturan transisi presiden tidak diatur secara spesifik.

"Perlu kebijaksanaan dari seorang kepala negara dalam menciptakan tradisi ketatanegaraan terkait keberlangsungan dan transisi kekuasaan," ujarnya.

Ditekankan, proses transisi Presiden mempunyai makna luar biasa secara simbolis dan tradisi. Dengan begitu, menurut Fahri, transisi presiden perlu dibuatkan dalam sebuah UU khusus.

"Dan secara simbolik perlu dipertahankan sebagai sebuah custom atau tradisi ketatanegaraan," katanya.

Diketahui, hal itu disampaikan Fahri saat menjadi narasumber dalam diskusi publik bertema "Harkat, Martabat & Keselamatan Seorang Mantan Presiden" di Bakoel Koffie-Cikini, Jakarta Pusat.

Pada acara tersebut, selain Fahri Bachmid, panitia menghadirkan cendikiawan serta pengamat politik Rocky Gerung, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago dan dimoderatori Titi Anggraini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement