REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Sebanyak empat kabupaten di Provinsi Jawa Timur (Jatim) mengalami gagal panen padi atau puso akibat kekeringan. Informasi ini berdasarkan laporan yang diterima Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jatim hingga 6 Oktober 2023.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jatim, Rudi Prasetya mengungkapkan, wilayah yang mengalami gagal panen padi terjadi di Kabupaten Jombang, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Lumajang. Lahan padi yang puso di Kabupaten Jombang tercatat sebesar empat hektare (ha), sedangkan Kabupaten Ngawi 0,15 hektare, dan Kabupaten Nganjuk sekitar satu hektare. "Kemudian Kabupaten Lumajang sebesar 2,5 hektare," jelasnya saat dikonfirmasi Republika, Selasa (10/10/2023).
Sementara itu, hasil amatan sementara KSA BPS pada periode Januari sampai September 2023 menunjukkan potensi luas panen padi mencapai 1.475.162 hektare. Hal ini berarti lebih besar 16.305 hektare dengan periode yang sama pada tahun lalu seluas 1.458.857 hektare.
Selanjutnya, potensi produksi sebesar 8.280.401 ton gabah kering giling (GKG). Dengan kata lain, lebih besar 128.429 ton GKG dengan periode sama pada tahun lalu sebesar 8.151.973 ton GKG.
Untuk mengamankan produksi dan menjaga ketersediaan pangan di Jatim, dia menilai, pemantauan dan pemahaman yang baik tentang El Nino sangat penting dilakukan. Hal ini karena agar dapat mengambil langkah-langkah pencegahan dan penyesuaian yang tepat untuk mengurangi dampaknya.
Menurut dia, terdapat beberapa langkah operasional untuk pengamanan produksi padi di Jatim sedang dilaksanakan di musim kemarau pada tahun ini. Langkah pertama dengan memaksimalkan capaian target luas tanam musim tanam Oktober 2023 sampai Maret 2024 dan melakukan gerakan untuk percepatan tanam.
Untuk diketahui, kata dia, saat ini Jatim tengah melaksanakan program Gerakan Nasional El Nino untuk percepatan tanam pada September sampai Oktober seluas 62,124 ha di 17 kabupaten. Sejumlah kabupaten yang dimaksud di antaranya Ponorogo, Malang, Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Pasuruan, Jombang, Nganjuk, Madiun dan Magetan. "Ada pula Ngawi, Tuban, Lamongan, Blitar, Lumajang dan Sumenep dan semua akan difasilitasi dengan bantuan benih dari pusat," ungkapnya.
Langkah kedua dengan melakukan budidaya tanaman sesuai iklim dan kondisi setempat. Beberapa upaya yajg dimaksud antara lain pemilihan varietas benih tahan OPT dan toleran kekeringan.
Selanjutnya, melakukan optimalisasi dukungan sarana dan prasarana berupa pompa air yang telah tersedia seperti perpompaan besar, perpompaan menengah dan embung. Pihaknya juga mendorong perpompaan melalui sumur submersible secara swadaya oleh petani.
Dinas juga berusaha mengintensifkan monitoring, evaluasi dan pelaporan secara rutin dan daring terhadap perkembangan luas serangan OPT dan dampak kekeringan. Tak hanya itu, pihaknya juga akan memberikan subsidi kepada petani berupa premi Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). Rencananya bantuan ini akan dialokasikan sebesar 13.000 ha yang tersebar pada 13 Kabupaten.
Langkah terakhir, yakni melakukan pemantauan iklim dan cuaca melalui sistem peringatan dini (Early Warning System). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan informasi prediksi/prakiraan iklim/musim dari BMKG maupun instansi resmi.
Berdasarkan rilis terbaru dari BMKG wilayah Jawa Timur diperkirakan memasuki musim hujan pada November mendatang. Kemudian puncak musim hujannya diperkirakan terjadi pada Februari 2024.