REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Forum Dosen dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menggelar Refleksi Akhir Tahun 2023 di Ruang Auditorium FH UII, Selasa (19/12/2023). Menyikapi situasi penegakan hukum serta demokrasi saat ini, Forum Dosen dan Guru Besar Fakultas Hukum UII menyoroti sejumlah persoalan yakni telah terjadi pembajakan dunia peradilan khususnya Mahkamah Konstitusi (MK)
Dekan FH UII, Prof Budi Agus Riswandi mengatakan kasus yang menimpa MK dalam Putusan 90/PUU-XXI/2021 dan juga putusan MKMK telah membuktikan adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam mengadili perkara yang melibatkan keluarganya.
"Telah terjadi pembajakan serius terhadap Mahkamah Konstitusi dan penegakan hukum kita, sehingga ke depan kami mendorong agar hakim Konstitusi ke depan bersikap adil, memegang prinsip integritas, dan profesional dalam profesinya. Tidak boleh mengorbankan kepentingan negara demi kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok," kata Budi dalam keterangannya.
Selain itu FH UII juga menyoroti soal masih lemahnya penegakan hukum lingkungan. Budi menjelaskan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah belum sepenuhnya memperhatikan aspek keberlanjutan. Dalam perspektif hukum, kelemahan terletak pada disharmoni peraturan, kelengkapannya maupun penegakannya.
"Dikarenakan konsep pembangunan berkelanjutan bersifat subjektif dan multitafsir, di masa mendatang perlu diperhatikan kemampuan ketahanan hidup bagi warga miskin di Indonesia kaitannya dengan pemanfaatan tanah sebagai tempat tinggal dan usahanya dengan memberi akses yang secara berkelanjutan mampu mempertahankan bahkan meningkatkan derajat kesejahteraannya," ucap Budi.
Selain itu FH UII juga menilai belum efektinya kebijakan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA). Budi memandang banyaknya kasus yang meminggirkan masyarakat hukum adat dalam proses pembangunan negara merupakan tindakan inkonstitusional. Hal ini karena konstitusi telah menjamin eksisten masyarakat hukum adat yg tidak hanya sekedar diakui namun juga dilindungi.
Ia memaparkan, fakta riil menunjukkan bahwa keberadaan MHA sebagai kelompok minoritas selama ini termarjinalkan dalam mengakses dan memenuhi bukan saja hak tradisionalnya, melainkan juga hak- haknya dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya sehingga diperlukan tindakan afirmasi khusus. "Untuk itu terkait pemenuhan hak MHA diperlukan cara yang sesuai utamanya dalam hal harmonisasi dan sinkronisasi, baik antar hukum adat maupun hukum adat dan hukum nasional," ungkapnya.
FH UII juga menilai perlindungan dan penegakan hukum atas Hak Kekayaan Intelelektual (HKI) dirasa belum optimal. Untuk itu diperlukan tata kelola HKI yang efektif, efisien, transparan, akuntabel dan terpadu.
Tidak hanya itu, penunjukan kepala daerah juga harus dievaluasi karena dinilai tidak demokratis dan mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat. Kepala daerah itu dipilih oleh rakyat di masing-masing daerah, bukan ditetapkan melalui penunjukan (aanstelling).
"Penunjukan penjabat kepala daerah saat ini yang difungsikan untuk masa jabatan yang relatif lama, menimbulkan problem dalam kaitannya dengan administrasi pemerintahan di bidang keuangan dan kepegawaian. Penunjukan kepala daerah oleh Mendagri dapat menimbulkan politik transaksional yang tidak dapat diawasi oleh publik," tuturnya.
FH UII juga mendukung perlawanan terhadap politik oligarki terutama dalam eksploitasi SDA. Menurutnya demokrasi yang terbelenggu oligarki telah mengakibatkan Indonesia menjadi negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, akan tetapi pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh Indonesia tidak disertai adanya pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dan perlindungan serta pengelolaan SDA yang berkelanjutan.
"Oleh karena itu terjadi ekploitasi SDA yang tidak berwawasan lingkungan dan berlebihan (over exploitasion) yang disebabkan praktek demokrasi yang terbelenggu oleh oligarki," ucapnya.
FH UII juga menyoroti pembentukan Undang-Undang yang manipulatif yang meminggirkan partisipasi publik. Pembentukan UU dilakukan hanya untuk menjalankan kepentingan mereka dan bukan kepentingan rakyat.
Terakhir FH UII menilai sikap dan kebijakan Pemerintah belum jelas terkait Pengungsi Rohingya. Perlu ada ketegasan dari pemerintah terkait hal tersebut.
FH UII memandang solusi hal tersebut, pertama Indonesia dapat bekerjasama dengan UNHCR untuk merelokasi sementara mereka yang memenuhi syarat sebagai refugee (tidak hanya etnis Rohingnya) di pulau terpencil, sehingga tidak menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat setempat serta mencegah mereka melarikan diri dari tempat penampungan, dengan jangka waktu dan kuota tertentu, juga dana dari badan internasional.
"Indonesia pernah mempraktekkan hal ini di kasus pengungsi Vietnam di Pulau Galang (1979-1996)," ungkapnya.
Kedua, Indonesia harus tegas memulangkan kembali atau mendeportasi mereka yang tidak memenuhi syarat refugee menurut konvensi 1951. Pemerintah perlu mendorong ASEAN bersikap tegas kepada Myanmar untuk menghentikan pelanggaran HAM yang berat di Myanmar, karena ini yang menjadi akar masalah datangnya pengungsi Rohingnya di berbagai negara.
"ASEAN juga perlu menemukan solusi jangka panjang masalah Rohingnya," kata Budi.
Sejumlah dosen dan guru besar FH UII yang mendukung pernyataan sikap tersebut yakni Budi Agus Riswandi, Jawahir Thontowi, Sefriani, Ni’matul Huda, Sri Wartini, Nandang Sutrisno, Hanafi Amrani, Rusli Muhammad, Ridwan Khairandy, Syamsudin, Ridwan, Winahyu Erwiningsih, Suparman Marzuki, dan Busyro Muqoddas.