REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pelaksanaan Pemilu 2024 sudah sampai pada tahap pengumuman hasil suara. Berbagai macam respons masyarakat turut meramaikan pesta demokrasi tahun ini. Terdapat masyarakat yang puas, namun ada juga masyarakat yang merasa kurang, baik dari segi pelaksanaan maupun hasil pemilu itu sendiri.
Salah satu bentuk respons terkait hal tersebut, Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Hari Sabtu (23/3/2024) mengadakan Diskusi "Pojok Bulaksumur". Acara diskusi kali ini bertema Refleksi Pelaksanaan Pemilu 2024.
Banyak aspek yang dapat direfleksikan terkait pemilu tahun ini. Mulai dari kualitas pemilu, pelaksanaan kampanye, hingga kesadaran konflik kepentingan. Pada diskusi ini dibahas tiga sudut pandang yaitu hukum, politik, dan ekonomi.
Pengamat Hukum UGM Hendry Julian Noor mengungkapkan, kualitas Pemilu 2024 jika dilihat dari segi hukum sebenarnya kesalahan lebih banyak terjadi pada saat pra-pemilu. Kesalahan pada awal inilah yang menjadikan efek lanjutan pada proses pelaksanaannya.
"Kesadaran etika dan konflik kepentingan menjadi salah satu masalah besar yang dianggap lumrah. Hal ini ditakutkan akan menjadi sebuah pola yang bisa saja terjadi ke depannya," kata Hendry dalam pemaparannya.
Sedangkan jika direfleksikan dari persoalan kampanye, menurut Arga Pribadi Imawan, sebenarnya ketiga paslon memiliki kesempatan bersaing yang sama. Apalagi kampanye saat ini selain menggunakan baliho dan sejenisnya juga dilakukan melalui media sosial.
"Karena masyarakat lebih melihat psikologis para paslon yang digambarkan dengan tampilan bahasa dan visual. Namun perlu undang-undang yang jelas untuk mengatur persoalan konten yang digunakan untuk kampanye di media sosial," kata pengamat politik dari Fisipol UGM tersebut menambahkan.
Arga menuturkan, kampanye di media sosial dengan pendekatan bahasa dan visual ini didukung juga dengan adanya tagar dan penggunaan musik yang sedang viral. Hal itu membantu penyebaran konten kampanye ini lebih luas serta terbukti efektif.
Dari segi ekonomi, Rijadh Djatu Winardi mengungkapkan seharusnya ada sistem pelaporan yang lebih rinci. "Karena ada anggaran yang sifatnya ofisial dan non ofisial sehingga audit keuangan perlu diperjelas," ujar dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM tersebut.