REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alfian Muhazir (Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ekonomi, Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta)
Komunikasi merupakan sarana penting dalam berkehidupan. Proses komunikasi inilah yang akan menentukan kualitas kehidupan seseorang di dunia ini. Proses ini akan berlangsung secara terus menerus tanpa henti yang menjadikan manusia akan berhubungan satu dengan lainnya. Di dalam pespektif Islam, seorang muslim yang baik haruslah mempunyai cara berkomunikasi yang baik dalam membangun sebuah hubungan sosial.
Ayat-ayat Alquran adalah cara Allah untuk berkomunikasi dengan manusia. Ayat/teks inilah yang diturunkan kepada manusia melalui perantara Rasul-Nya. Lewat para Rasul ini ayat-ayat akan dikomunikasikan kepada para umat manusia. Proses inilah yang menjadikan ayat–ayat dalam Alquran bisa disebut sebagai salah satu alat komunikasi dalam bentuk tekstual yang kemudian dituangkan dalam bentuk kehidupan sehari-hari manusia.
Bentuk dasar komunikasi adalah sebuah proses ekspresi manusia. Manusia satu dengan manusia lainnya mempunyai hakikat kepentingan kebutuhan yang berbeda–beda. Pikiran atau perasaan manusia yang berbeda inilah yang akan melahirkan bagaimana manusia harus saling berkomunikasi satu dengan lainnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dalam perspektif islam penyampaian ayat-ayat di dalam Alquran lewat cara proses berkomunikasi Nabi/Rasul kepada umat manusia inilah yang disebut dengan komunikasi profetik (kenabian).
Pandangan komunikasi profetik (kenabian) ini tidak lepas dari pandangan dalam ilmu sosial dan sastra. Pertama kali yang menguaraikan istilah profetik disini adalah seorang satrawan, budayawan, cendekia muslim, Kontowijoyo yang menyampaikan gagasan yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan agama untuk membawa transformasi sosial. Gagasan itu oleh Kuntowijoyo dimasukkan ke dalam gagasan ilmu sosial profetik dan sastra profetik.
Komunikasi profetik adalah pendekatan komunikasi yang mengacu pada pola komunikasi kenabian yang unsur utamanya adalah nilai–nilai egaliter, toleransi, kelembutan, kemurahan, dan spiritualitas. Komunikasi profetik dalam berdakwah merupakan manisfestasi dari integrasi moral dan multikecerdasan (intelektual, emosional, sosial, dan spiritualitas). Sifat dari komunikasi profetik ini lebih ke humanis, menyeru tanpa hinaan, mengajak tanpa mengejek, manasehati tanpa menggurui dan yang paling penting adalah mengedukasi masyarakat terhadap hal-hal yang baik.
Perspektif komunikasi profetik akan menemukan titik terang dan benang merah peran dan kontribusi komunikasi kenabian dalam sejarah perkembangan ilmu komunikasi. Komunikasi profetik tidak hanya dapat dipetakan dalam kelompok kerja agama saja tetapi dapat dipetakan dalam kelompok kerja ilmu secara umum sebab memuat urusan kemanusiaan dan agama secara bersamaan.
Tiga pilar utama komunikasi profetik yaitu, humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minu billah) ini menguraikan bagaiman komunikasi dalam perspektif islam yang menekankan pentingnya komunikasi yang memanusiakan manusia (humanisasi), membebaskan (liberasi), dan selalu berorientasi kepada Tuhan (transendensi) melalui integrasi-integrasi kajian ilmu komunikasi. Selain itu merupakan manisfestasi dari integrasi moral dan multikecerdasan (intelektual, emosional, sosial, dan spiritualitas).
Tepo Seliro
Setelah melihat dari pandangan definisi dalam komunikasi profetik (kenabian) di atas, perlu sekali kita sebagai umat manusia menggunakan pandangan konsep ini untuk diterapkan di kehidupan. Tujuannya untuk apa? Agar terjadi keselarasan yang baik di tingkat sosial dan melahirkan masayarakat yang baik, masyarakat yang mau saling menghargai menghormati diantara satu dengan lainnya.
Masyarakat saling menghargai menghormati nantinya juga akan melahirkan masyarakat tenggang rasa atau dalam bahasa jawa disebut “Tepo Seliro”. “Tepo Seliro” adalah rasa empati tenggang rasa yang menitik rasa menghargai dan menghormati perasaan orang lain. Konsep ini dalam budaya jawa menekankan pentingnya kepekaan terhadap orang lain, lingkungan, dan diri sendiri.
Tenggang rasa empati itu sendiri menempatkan diri pada posisi orang lain, memahami perasaan dan pandangan perspektif mereka, serta bertindak dengan penuh rasa pengertian dan hormat. Untuk itu dalam komunikasi profetik sangat sekali dianjurkan dalam penerapannya menggunakan konsep “Tepo Seliro” ini agar terjalin komunikasi yang humanis dan menyenangkan di kalangan masyarakat.
Terlebih di bulan Ramadhan ini penerapan “Tepo Seliro” sebagai salah satu terapan dalam komunikasi profetik sangat jelas sekali dianjurkan. Kita harus dapat saling tenggang rasa dan empati terhadap satu sama lainnya. Di bulan Ramadan inilah singgungan komunikasi antar masyarakat sangat erat sekali. Dibutuhkan sekali penerapan konsep “Tepo Seliro” untuk kedewasaan berkomunikasi.
Suasana di bulan Ramadhan ini haruslah yang lebih menitik beratkan suasana yang humanis, menyenangkan dan saling memaafkan. Bulan yang penuh berkah, ampunan, penuh rahmat dan kesempatan terbaik untuk meningkatkan ibadah. Jadi jelas sekali “Tepo Seliro” sangat dianjurkan diterapkan di bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri untuk kita berhubung komunikasi satu dengan, saling memaafkan, tidak menjelekkan dan tentu saja rasa empati harus di kedepankan. Semoga kita semua bisa menerapkan konsep “Tepo Seliro” ini di lingkungan kita masing-masing.