REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kamran Dikarma
Pagi itu, Jumat, 28 Februari 2025, Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan Kurniawan Lukminto, telah hadir di Ruang Sidang Kusumah Atmaja, Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang, Jawa Tengah. Ekspresi risau dan gundah tak dapat disembunyikan pada wajahnya. Sesekali, Iwan memejamkan mata sambil menopangkan kepalanya ke kepalan tangannya.
Di hadapan Iwan, empat anggota Tim Kurator Sritex telah siap memaparkan kondisi usaha perusahaan tekstil terbesar di Indonesia itu pascadiputus pailit pada 21 Oktober 2024. Pemaparan kurator dibutuhkan untuk memberi gambaran kepada para kreditur dan hakim pengawas tentang apakah asas keberlangsungan usaha atau going concern dapat diterapkan kepada Sritex.
Pada kesempatan itu, Tim Kurator mengungkapkan bahwa dalam sebulan Sritex harus mengeluarkan dana sebesar Rp 35 miliar untuk pembayaran gaji beserta kewajiban terkait karyawan lainnya. Beban tagihan listrik Sritex pada Februari 2025 juga mencapai Rp 9,7 miliar.
"Bahwa selain biaya pengeluaran gaji karyawan, terdapat biaya-biaya lain yang belum terhitung, di antaranya adalah kebutuhan produksi dengan batu bara, biaya bahan baku, dan biaya-biaya lainnya,” ujar salah satu anggota Tim Kurator Sritex, Nurma Candra Yani Sadikin, dalam pemaparannya.
Sementara terkait pendapatan, Sritex hanya mampu menghimpun Rp 20 miliar. Salah satu anak perusahaan Sritex, PT Primayudha Mandirijaya hanya menerima keuntungan satu miliar rupiah. Sedangkan dua anak perusahaan Sritex lainnya, yakni PT Bitratex Industri dan PT Sinar Pantja Djaja, sudah tidak beroperasi.
"Bahwa dengan keadaan sebagaimana dijelaskan di atas, saat ini tidak dimungkinkan untuk melanjutkan usaha debitur dengan alasan modal kerja yang terbatas dan beban biaya terlalu tinggi dibandingkan pendapatan yang diterima," kata Nurma.
Setelah Tim Kurator memaparkan kondisi usaha dan aset-aset milik Sritex, Hakim Pengawas Haruno mempersilakan Iwan Kurniawan Lukminto menyampaikan pandangannya. Dalam rapat kreditur Sritex yang digelar di PN Niaga Semarang pada 30 Januari 2025, Iwan masih berharap Sritex tetap bisa beroperasi. Dia bahkan mengaku siap jika harus melepaskan pengelolaan perusahaannya kepada kurator.
Namun dalam rapat pada 28 Februari 2025, Iwan mengamini pemaparan Tim Kurator dan mengakui aktivitas bisnis perusahaannya tak mungkin lagi dilanjutkan. "Dengan adanya keterbatasan ruang gerak dan juga keterbatasan modal kerja, maka dari itu proposal dari GC (going concern/keberlangsungan usaha) yang kita diskusikan kemarin tidak dapat mencukupi untuk pembayaran kepada kreditur," ucapnya.
Hari itu, Hakim Pengawas Haruno akhirnya memutuskan bahwa going concern tak bisa dilakukan. "Dengan demikian pula rangkaian ini akan kami akhiri dengan pernyataan, insolvent kami tetapkan hari ini, Jumat tanggal 28 Februari 2025," kata Haruno.
Tanggal 28 Februari 2025 tercatat menjadi penutup perjalanan Sritex. "Kami berduka," kata Iwan ketika diwawancarai awak media seusai rapat dan keputusan insolvent terhadap Sritex.
Dia kemudian mengenang perjalanan perusahaan keluarganya tersebut yang sudah berusia hampir enam dekade. "Saya menghitung harinya itu adalah 21.382 hari. Itu adalah dari lahirnya Sritex tanggal 16 Agustus 1966 sampai hari ini, 28 Februari 2025," ucapnya.
Pada 31 Januari 2025, Tim Kurator telah menerbitkan Daftar Piutang Tetap (DPT) kepada Sritex dan tiga anak perusahaannya. Berdasarkan DPT tersebut, diketahui Sritex Group menanggung utang sebesar Rp 29,88 triliun.
Perjalanan Sritex
PT Sritex didirikan H.M Lukminto pada 1966. Awalnya Sritex hanyalah perusahaan perdagangan tradisional di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Kiprah Sritex menuju kejayaan dimulai ketika mereka membuka pabrik cetak pertamanya yang memproduksi kain putih dan berwarna di Solo pada 1968. Sepuluh tahun kemudian, Sritex terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan.
Pada 1982, Sritex membangun pabrik tenun pertamanya. Kemudian pada 1992, perusahaan tersebut memperluas pabrik dengan empat lini produksi dalam satu atap, yaitu pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana. Tahun 1994 Sritex menjadi produsen seragam militer untuk aliansi pertahanan NATO.
Sritex berhasil selamat dari krisis moneter tahun 1998. Perusahaan tersebut justru berhasil melipatgandakan pertumbuhannya sampai delapan kali lipat dibanding waktu pertama kali terintegrasi pada 1992.
Pada 2013, Sritex resmi melantai di Bursa Efek Indonesia dengan kode emiten SRIL. Pada 2014, putra sulung H.M Lukminto yang memimpin Sritex, Iwan S. Lukminto, memperoleh penghargaan Businessman of the Year dari Majalah Forbes Indonesia. Setahun kemudian, PT Sritex dianugerahi Top Performing Listed Companies in Textile and Garment Sector oleh Majalah Investor. Sritex telah banyak menerima penghargaan serupa.
Tahun 2016, Sritex berhasil menerbitkan obligasi global senilai 350 juta dolar AS yang jatuh tempo pada 2021. Pada 2017, Sritex kembali menerbitkan obligasi global senilai 150 juta dolar AS yang jatuh tempo tahun 2024. Tahun 2021 dianggap sebagai awal mula kejatuhan Sritex saat mereka tak mampu membayar utang sindikasi sebesar 350 juta dolar AS. Kala itu Sritex menyampaikan bahwa utang tersebut akan diajukan untuk direstrukturisasi.
Pada 2020-2021, perdagangan global mengalami pukulan keras akibat pandemi Covid-19. Kala itu tak sedikit negara menghadapi resesi. Pada April 2021, ketika pandemi masih berlangsung, Sritex menghadapi gugatan pemenuhan pembayaran utang dari CV Prima Karya. CV Prima Karya adalah kontraktor pabrik Sritex dan tiga anak perusahaannya, yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya. Nilai utang Sritex dalam perkara PKPU No.12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Smg itu mencapai Rp5,5 miliar.
Pada Januari 2022, rencana perdamaian yang diajukan Sritex diterima kreditur dan disahkan dalam putusan homologasi. Dua tahun berselang, putusan homologasi dimohonkan pembatalannya karena Sritex dinilai tak mampu memenuhi isi perjanjian.
Sritex dan tiga anak perusahaannya juga menghadapi gugatan lain dari PT Indo Bharat Rayon. Sama seperti kasus CV Prima Karya, Sritex tak mampu menunaikan perjanjian homologasi. Dalam perkara ini, pada 21 Oktober 2024, PN Niaga Semarang memutus Sritex pailit. Hal tersebut termaktub dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
"Menyatakan PT Sri Rejeki Isman, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya," demikian petitum yang dipublikasikan di Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Semarang.
Dalam putusan tersebut, Sritex dan tiga anak perusahaannya dinyatakan telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada pemohon berdasarkan Putusan Homologasi (Pengesahan Rencana Perdamaian) tanggal 25 Januari 2022. "Menyatakan batal Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No.12/ Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg Tanggal 25 Januari 2022 mengenai Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi)," demikian bunyi petitum lain dari perkara antara PT Sritex dan PT Indo Bharat Rayon.
Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2024, Sritex memiliki sisa utang Rp 101,31 miliar kepada PT Indo Bharat Rayon. Dipailitkannya Sritex oleh PN Niaga Semarang segera menjadi perhatian nasional. Hal itu mengingat Sritex memiliki lebih dari 10 ribu pekerja.
Tak lama setelah dipailitkan PN Niaga Semarang, Sritex mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun MA menolak permohonan Sritex. Sidang putusan permohonan kasasi Sritex dengan nomor perkara 1345K/PDT.SUS-PAILIT/2024 dilaksanakan pada 18 Desember 2024. "Amar putusan: tolak," demikian bunyi putusan permohonan kasasi Sritex yang dikutip Republika dari laman resmi MA.
