Kamis 22 May 2025 09:34 WIB

27 Tahun Reformasi, Akademisi Hingga Aktivis Suarakan Perlawanan terhadap Impunitas

Revisi UU TNI dinilai merupakan langkah mundur bagi demokrasi.

Rep: Muhammad Rozy/ Red: Fernan Rahadi
Lembaga Studi Jurisprudensi (LSJ) FH UGM bersama Amnesty International Indonesia dan Dewan Mahasiswa Justicia menyelenggarakan diskusi publik bertajuk 27 Tahun Reformasi: Refleksi Perjuangan Publik Melawan Impunitas di Taman Keadilan, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Selasa (20/5/2025).
Foto: Muhammad Rozy
Lembaga Studi Jurisprudensi (LSJ) FH UGM bersama Amnesty International Indonesia dan Dewan Mahasiswa Justicia menyelenggarakan diskusi publik bertajuk 27 Tahun Reformasi: Refleksi Perjuangan Publik Melawan Impunitas di Taman Keadilan, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Selasa (20/5/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Memperingati 27 tahun Reformasi, Lembaga Studi Jurisprudensi (LSJ) FH UGM bersama Amnesty International Indonesia dan Dewan Mahasiswa Justicia menyelenggarakan diskusi publik bertajuk '27 Tahun Reformasi: Refleksi Perjuangan Publik Melawan Impunitas' di Taman Keadilan, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Selasa (20/5/2025).

Diskusi ini menghadirkan berbagai perspektif dari akademisi, aktivis, hingga mahasiswa untuk menyoroti belum tuntasnya penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia. Ketua DEMA FH UGM, Radea Basukarna Prawira Yudha, menilai bahwa momen 27 tahun Reformasi menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan impunitas (pembebasan dari hukuman-Red) masih jauh dari selesai.

Dekan FH UGM, Herlambang P. Wiratraman, dalam pemaparannya menyatakan bahwa praktik impunitas di Indonesia hari ini tidak hanya bertahan, tetapi semakin dilembagakan melalui berbagai regulasi. Salah satunya, menurut Herlambang, terlihat dalam Undang-Undang Pengadilan HAM yang sejak awal memiliki desain “siap gagal.”

“Proses penyelesaian kasus antara Komnas HAM dan Kejaksaan yang berlarut-larut selama 27 tahun menunjukkan adanya penundaan keadilan yang sistematis,” ujarnya.

Ia juga menyoroti disahkannya revisi UU TNI pada Maret 2024 lalu sebagai langkah mundur bagi demokrasi, karena dinilai mempersempit ruang sipil dan memperkuat impunitas militer.

Selain itu, penulis dan aktivis Kalis Mardiasih menekankan pentingnya membangun literasi dan kesadaran publik soal pelanggaran HAM, terutama di kalangan anak muda. Menurutnya, banyak generasi Gen Z yang tidak memiliki akses terhadap sejarah atau wacana HAM karena keterbatasan sistem pendidikan dan dominasi logika pasar di media sosial.

“Mereka lebih akrab dengan konten viral daripada narasi perjuangan,” kata Kalis. Ia menyebut media digital seperti TikTok kerap memprioritaskan algoritma monetisasi dibandingkan penyebaran nilai-nilai keadilan.

Kalis juga menyinggung pentingnya peran gerakan akar rumput seperti Aksi Kamisan yang konsisten digelar setiap Kamis di depan Istana Negara. Aksi ini, menurutnya, telah menjadi simpul solidaritas bagi keluarga korban dari berbagai daerah, mulai dari Papua hingga wilayah terdampak proyek strategis nasional.

Dalam diskusi, nama Pramoedya Ananta Toer juga disebut, khususnya melalui kutipan tulisannya yang berjudul “Saya Bukan Nelson Mandela.” Kutipan itu diangkat dalam konteks rekonsiliasi yang kerap disuarakan tanpa penegakan hukum.

Diskusi ditutup dengan penegasan bahwa perjuangan menuntut keadilan tidak cukup hanya dengan permintaan maaf negara. Para peserta sepakat bahwa melawan impunitas memerlukan konsistensi, keberanian, dan keterlibatan lintas generasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement