REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dugaan yang menyebutkan bahwa diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Arya Daru Pangayunan, mengalami depresi sebelum kematiannya ditepis oleh pihak keluarga. Melalui kuasa hukum dan ayah kandung almarhum, keluarga menyatakan tidak ada riwayat gangguan mental pada Arya.
Ayah Arya Daru, Subaryono memastikan anak semata wayangnya itu tidak pernah menunjukkan tanda-tanda gangguan mental. Menurutnya, Arya adalah pribadi mandiri dan bertanggung jawab sejak kecil, tangguh dan penuh dedikasi.
"Dia tidak pernah (menunjukkan tanda-tanda depresi -Red)," ucapnya.
"Yang dia ceritakan itu, hal-hal yang membuat kami bangga," kata Subaryono menambahkan.
Sang Ayah kemudian mengenang bagaimana Arya menjadi garda terdepan dalam misi kemanusiaan Kemlu, termasuk membantu anak-anak terlantar di Taiwan, mendampingi para TKI yang mengalami gangguan psikologis, hingga turut dalam misi kemanusiaan saat gempa di Turki.
Keseharian dan kepribadiannya membuat keluarga tak yakin bahwa kematian Arya Daru diungkap tanpa melibatkan orang lain alias mengarah pada bunuh diri.
Keluarga meyakini bahwa kematiannya bukanlah akibat bunuh diri. Keyakinan itu muncul karena Arya Daru tengah berada dalam masa paling membahagiakan dalam hidupnya, terutama dengan persiapan penugasan ke Finlandia yang sudah matang.
Selain itu, ditambah sederet kejanggalan dalam proses ungkap peristiwa kematian yang dinilai misterius.
"Bahkan Arya Daru telah menyiapkan segala sesuatunya, termasuk rencana memboyong istri, anak-anak, hingga orang tuanya untuk ikut menetap di Eropa. Sebelum ke Finlandia, anak saya dan keluarga sangat gembira. Cucu-cucu saya juga sudah direncanakan sekolah di sana. Semua sudah disiapkan," ujarnya.
Bantahan Soal Depresi
Sementara itu, Kuasa hukum keluarga, Nicholay Aprilindo, menegaskan tidak ada catatan atau riwayat gangguan mental pada Arya Daru. "Mengenai kesehatan mental kami, sudah tanya kepada keluarga, almarhum tidak pernah mempunyai masalah mental,"ucapnya.
Menurut Nicholay, pihak yang paling memahami kondisi psikologis Arya bukanlah para pengamat atau lembaga psikologi seperti yang diungkap polisi dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, melainkan keluarga yang hidup bersama Arya setiap hari yang lebih mengetahuinya.
"Yang tahu mengenai psikologi almarhum adalah orang tua almarhum yang membesarkan dari kecil sampai dewasa, yang tahu tentang psikologis dan mental almarhum adalah istri almarhum yang setiap hari bersama almarhum bukan para pengamat psikolog atau kriminolog," kata dia.
"Jadi harusnya keluarga yang lebih didengar bukan pengamat yang lebih didengar," ucapnya tegas.
Keluarga merasa narasi yang menyebut Arya depresi sangat menyudutkan dan tidak berdasar.
"Yang jadi pertanyaan ketika jadi peristiwa misteri meninggalnya almarhum, ada pernyataan yang menyudutkan almarhum yaitu depresi, bunuh diri," ujar Nicholay.
Penyakit Fisik, Bukan Mental
Sementara itu, kuasa hukum lainnya, Dwi Librianto, mengungkap bahwa Arya memang memiliki sejumlah keluhan kesehatan, namun semuanya berkaitan dengan kondisi fisik bukan psikis. Ia juga menegaskan bahwa tidak pernah ada konflik rumah tangga ataupun masalah sebelum kematiannya tersebut.
"Pita (sapaan istri Arya -Red) mengetahui Arya Daru sakit kolesterol sekitar 4-5 tahun ini. Adanya sakit kista di ginjal diketahui 3 Juli 2025 setelah medical check up. Ada sakit gerd dari 2 tahun lalu," katanya.
"Tidak ada masalah rumah tangga sebagai suami istri (sebelum kematiannya yang misterius -Red)," ungkapnya.
Sebelumnya, dalam konferensi pers yang digelar oleh Polda Metro Jaya pada bulan Juli 2025 lalu menyebutkan Arya Daru pernah mengakses layanan kesehatan mental, dengan catatan terakhir pada tahun 2013 atau lebih dari satu dekade lalu.
Ketua Umum Apsifor, Nathanael Sumampouw, juga menyampaikan dinamika psikologis dan tekanan sebagai diplomat yang sering menghadapi situasi kemanusiaan bisa berdampak mental. "Almarhum pekerja kemanusiaan, memikul berbagai tanggung jawab, terus menerus terpapar trauma, dinamika psikologis itu kami temukan di masa akhir kehidupannya," ucapnya.
Namun, pernyataan ini tidak cukup meyakinkan bagi keluarga, sehingga mereka meminta adanya penyelidikan ulang secara transparan tanpa menutupi apalagi menghilangkan bukti apa pun.