Ahad 25 May 2025 12:36 WIB

Menimbang Unifikasi Kode Etik Guru Indonesia

Menyatukan kode etik guru jadi satu kesepakatan nasional bukan lagi sekadar wacana.

Ilustrasi guru
Ilustrasi guru

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Samsul Ma’arif Mujiharto (Dosen Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta; Pendiri-Pengasuh Pondok Pesantren Afkaaruna & Afkaaruna Islamic School, Yogyakarta)

Beberapa waktu lalu, seorang guru di Sumatera Barat dilaporkan ke dinas pendidikan setelah menegur siswanya yang menyebarkan hoaks politik di grup WhatsApp kelas. Ia yakin tindakan itu adalah bagian dari tanggung jawab moralnya sebagai pendidik. Namun, organisasi profesinya justru menilai ia melanggar kode etik. Ironisnya, kasus serupa di Jawa Tengah justru berujung pada penghargaan dari asosiasi guru lain, karena dianggap menjaga integritas pendidikan dari disinformasi (Kompas, 14 Februari 2024; CNN Indonesia, 5 Maret 2024).

Dua tindakan, dua penilaian. Satu profesi, tapi tak satu pijakan nilai!

Perbedaan pijakan nilai di antara organisasi profesi guru menciptakan situasi yang tidak hanya membingungkan, tetapi juga berbahaya bagi keberlangsungan profesi itu sendiri. Ketika satu tindakan bisa dinilai terpuji oleh satu lembaga namun dianggap pelanggaran oleh lembaga lain, maka batas antara yang benar dan yang salah menjadi kabur.

Guru, sebagai pelaksana peran strategis dalam mendidik generasi bangsa, justru menjadi korban dari ketidakpastian norma yang seharusnya melindungi mereka. Akibatnya, tak hanya pengambilan keputusan di ruang kelas yang terdampak, tetapi juga proses pembinaan, penilaian kinerja, dan perlindungan hukum terhadap guru ikut terfragmentasi. Lebih jauh, masyarakat pun juga berpotensi kehilangan acuan dalam menilai profesionalisme guru.

Problem Yuridis

Akar dari persoalan ini terletak pada kerangka hukum yang memang memberikan keleluasaan kepada organisasi profesi untuk mengatur dirinya sendiri. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya Pasal 43 ayat (1), secara eksplisit mengamanatkan bahwa penyusunan kode etik guru merupakan kewenangan masing-masing organisasi profesi. Amanat ini tidak berdiri sendiri, tetapi ditegaskan kembali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 yang menempatkan organisasi profesi sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan atas pelaksanaan kode etik tersebut.

Secara prinsipil, ketentuan ini mencerminkan semangat pengakuan terhadap kemandirian profesi, bahwa guru sebagai profesi yang otonom diberi ruang untuk merumuskan dan menjaga standar etiknya sendiri. Otonomi ini diyakini sebagai fondasi penting untuk menjaga martabat profesi dan mencegah intervensi yang bisa mereduksi independensi guru dalam menjalankan tugasnya. Namun, realitas kelembagaan di Indonesia menunjukkan bahwa semangat tersebut belum didukung oleh struktur organisasi profesi yang terintegrasi secara nasional.

Setiap organisasi tersebut menyusun kode etiknya sendiri-sendiri, lengkap dengan kerangka nilai, pedoman perilaku, dan mekanisme penegakan yang berbeda satu sama lain. Keadaan ini menimbulkan keragaman tafsir yang tidak selalu saling menguatkan. Alih-alih menciptakan kesatuan etika profesi, fragmentasi ini justru memperlemah posisi etik guru secara kolektif. Tanpa adanya satu standar etik nasional yang disepakati bersama, profesi guru rawan tercerai-berai oleh norma moral yang tumpang tindih dan bahkan bisa saling bertentangan.

Di tengah situasi etika profesi yang terfragmentasi dan membingungkan, hadirnya Permendikbudristek Nomor 67 Tahun 2024 patut dipandang sebagai titik terang awal. Regulasi ini merupakan bagian dari langkah strategis reformasi pendidikan nasional, khususnya dalam penguatan kualitas guru. Salah satu hal paling penting dari peraturan ini adalah penegasan bahwa kompetensi profesional guru tidak bisa berdiri sendiri, tanpa ditopang oleh dimensi etik yang jelas dan terukur. Etika bukan lagi sekadar pelengkap atau hiasan simbolik, melainkan menjadi pilar penting dalam menilai mutu pendidik secara menyeluruh.

Permen ini secara eksplisit merumuskan prinsip-prinsip etik guru dalam lima ranah penting: hubungan guru dengan peserta didik, dengan sesama pendidik, dengan orang tua atau wali murid, dengan masyarakat luas, dan dengan institusi pendidikan tempat ia mengabdi. Kelima ranah ini mencerminkan spektrum tanggung jawab sosial dan profesional guru dalam kehidupan nyata sehari-hari. Lebih dari itu, Permen ini juga mengaitkan pelanggaran terhadap prinsip etik tersebut dengan sistem evaluasi profesional dan proses resertifikasi. Hal ini menandai perubahan paradigma penting: bahwa aspek etika kini masuk ke dalam sistem pengawasan dan akuntabilitas formal, bukan hanya menjadi ranah moral personal.

Namun, secemerlang apa pun niat yang tertuang dalam regulasi tersebut, tetap ada catatan kritis yang perlu diperhatikan. Permendikbudristek Nomor 67/2024 memang memberikan kerangka etik yang komprehensif dan progresif, tetapi ia belum memiliki kekuatan mengikat secara universal terhadap seluruh organisasi profesi guru yang saat ini eksis di Indonesia. Artinya, regulasi ini belum dapat menyatukan berbagai struktur etika yang tersebar ke dalam satu sistem kelembagaan yang terkoordinasi secara nasional. Tanpa dukungan nyata dan kesepakatan kolektif dari seluruh organisasi profesi guru, serta tanpa instrumen kelembagaan yang kuat untuk menjamin pelaksanaan dan penegakan etik, regulasi ini berisiko berhenti sebagai dokumen normatif yang baik di atas kertas, tetapi minim dampak dalam praktik nyata di lapangan.

Unifikasi

Karena itu, menyatukan kode etik guru menjadi satu kesepakatan nasional bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda. Upaya unifikasi ini bukanlah proses menyamaratakan segala hal, apalagi meniadakan kekayaan keragaman organisasi profesi yang sudah ada. Sebaliknya, ini merupakan bentuk ikhtiar kolektif untuk membangun kesepahaman etik yang kokoh dan lintas batas institusional. Nilai-nilai dasar seperti integritas, tanggung jawab, keadilan, serta profesionalisme adalah nilai-nilai universal yang seharusnya bisa diterima semua pihak, terlepas dari perbedaan afiliasi atau tradisi kelembagaan.

Dengan hadirnya satu kode etik yang berlaku secara nasional, para guru akan memiliki “kompas moral” yang lebih jelas dan andal. Sekolah pun memperoleh acuan yang seragam dalam proses pembinaan dan penegakan disiplin. Organisasi profesi tetap bisa berkembang sesuai identitas dan mandat masing-masing, namun semua bergerak dalam kerangka nilai yang selaras. Dan lebih dari itu, masyarakat akan kembali percaya bahwa profesi guru di Indonesia dijalankan oleh para pendidik yang tunduk pada standar etik yang solid dan konsisten.

Tentu saja, merumuskan dan menyepakati kode etik bersama bukan perkara mudah. Ia membutuhkan ruang dialog yang terbuka, sabar, dan berkelanjutan antarorganisasi profesi. Proses ini menuntut kerendahhatian kelembagaan; yaitu keberanian untuk menanggalkan ego sektoral demi merumuskan nilai-nilai bersama yang, menurut filsuf John Rawls, disebut “overlapping consensus”. Di titik inilah negara harus hadir bukan sebagai penentu isi, tetapi sebagai pengawal proses: memastikan bahwa upaya unifikasi berjalan secara inklusif, setara, dan bisa dipertanggungjawabkan secara moral maupun legal.

Pemerintah dapat memainkan peran sebagai fasilitator yang adil dan netral yang menghubungkan berbagai pemangku kepentingan tanpa memaksakan agenda. Sementara organisasi profesi perlu menempatkan misi luhur pendidikan di atas kepentingan internal. Yang kita perjuangkan bukan sekadar harmoni antarorganisasi, tapi keberlangsungan martabat profesi di tengah perubahan zaman.

Apalagi di era ketika digitalisasi pembelajaran berlangsung cepat, krisis kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan menguat, dan ruang kelas makin terekspos tekanan politik serta sosial, maka profesi guru dituntut menjadi jangkar moral. Tapi jangkar itu tak akan kokoh jika ditanam di atas nilai yang rapuh, kabur dan multitafsir.

Unifikasi kode etik bukan sekadar langkah administratif. Ia adalah pilar yang menopang masa depan. Ia adalah perwujudan janji bahwa profesi guru di Indonesia berdiri di atas nilai-nilai bersama yang disepakati dengan sadar dan dijaga dengan penuh tanggung jawab. Dan seperti semua janji yang penting, ia tidak bisa ditunda. Ia harus ditepati. Dan jalannya harus dimulai; sekarang!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement