Jumat 20 Jun 2025 16:40 WIB

Tambang Hijau yang Adil: Mungkinkah Raja Ampat Jadi Contoh atau Korban Lagi?

Negara-negara maju sudah membangun sistem yang berpihak pada masa depan.

Suasana aktivitas pertambangan di Raja Ampat.
Foto: Youtube Greenpeace (tangkalan layar).
Suasana aktivitas pertambangan di Raja Ampat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Choirul Amin (Pengajar Bidang Geografi Ekonomi, Fakultas Geografi UMS)

Ketika pemerintah Indonesia mencabut empat izin usaha tambang nikel di Raja Ampat, banyak pihak menyambutnya sebagai langkah progresif. Namun penghentian sementara operasi PT Gag Nikel dan polemik izin lama menunjukkan bahwa krisis ini belum berakhir. Kita dihadapkan pada dilema global: mengejar energi hijau berbasis nikel untuk baterai kendaraan listrik, tetapi berisiko mengorbankan salah satu kawasan hayati terkaya di dunia. Apakah kita sedang membangun masa depan hijau dengan fondasi yang rapuh?

Sebagai kawasan konservasi laut dan darat, Raja Ampat telah lama menjadi ikon keanekaragaman hayati dunia. Wilayah ini bukan hanya rumah bagi 75 persen spesies karang dunia, tetapi juga tempat hidup ribuan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari laut dan hutan. Pertambangan nikel di kawasan seperti ini, baik legal maupun ilegal, telah terbukti menyebabkan kerusakan permanen: sedimentasi, degradasi karang, hilangnya sumber air bersih, hingga penyakit kulit yang dialami masyarakat sekitar.

Masalahnya bukan semata tambang atau tidak tambang, tetapi bagaimana Indonesia menambang, untuk siapa, dan dengan dampak apa. Di sinilah kita perlu memperkenalkan konsep yang semakin mengemuka secara global: green extraction with social justice. Ekstraksi sumber daya yang ramah lingkungan dan adil secara sosial—bukan sekadar eksploitasi yang dibungkus jargon “transisi energi.”

Pertanyaannya: mungkinkah hal itu diwujudkan di Indonesia?

Sejumlah negara telah menunjukkan arah yang layak ditiru. Norwegia, misalnya, menerapkan kontrol ketat atas sumber daya dan mengelola pendapatannya melalui sovereign wealth fund untuk generasi masa depan. Kanada memberi ruang hukum bagi masyarakat adat untuk menolak atau menyetujui proyek tambang. Chile sedang mereformasi sektor litium dengan pendekatan berbasis partisipasi komunitas lokal. Finlandia dan Swedia menerapkan teknologi tambang rendah emisi dan transparansi audit lingkungan.

Apakah praktik ini sempurna? Jelas tidak. Bahkan di negara-negara maju, konflik atas lahan adat dan ekologi tetap ada. Tapi setidaknya mereka sudah membangun sistem yang berpihak pada masa depan, bukan hanya keuntungan jangka pendek.

Indonesia sejatinya bisa mengambil pelajaran. Saat ini, banyak izin tambang diberikan tanpa partisipasi komunitas lokal yang memadai, seringkali melalui proses yang minim transparansi. Perusahaan bisa saja memiliki izin administratif, tapi tidak berarti otomatis memiliki legitimasi sosial. Apalagi jika proyek itu mengorbankan warisan ekologis yang tidak tergantikan seperti Raja Ampat.

Ironisnya, atas nama energi hijau dan transisi global, masyarakat lokal justru dikorbankan. Mereka tidak menikmati keuntungan ekonomi signifikan dari tambang, tetapi harus menanggung beban lingkungan dan sosial. Di sinilah letak ketidakadilan ekologis kita. Ketika masyarakat global ingin beralih ke kendaraan listrik, masyarakat adat di pesisir Papua harus kehilangan laut, ikan, dan hutan mereka.

Maka, moratorium tambang di kawasan konservasi seperti Raja Ampat bukanlah sikap emosional, tetapi keputusan rasional yang berlandaskan prinsip keberlanjutan. Pemerintah harus berani menetapkan zona bebas tambang di kawasan-kawasan yang menjadi tulang punggung ekosistem nasional dan dunia.

Selain itu, tata kelola izin pertambangan harus direformasi. Izin yang sudah kadung terbit di masa lalu perlu dievaluasi secara menyeluruh—baik dari aspek lingkungan, sosial, maupun legalitas prosedural. Pemerintah pusat dan daerah harus menjamin bahwa tidak ada satu pun proyek ekstraktif yang mengabaikan suara komunitas terdampak. Jika perlu, bangun sistem partisipatif seperti Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang diakui secara internasional.

Kita tidak anti tambang. Tapi kita harus menambang dengan cara yang benar, di tempat yang tepat, untuk kepentingan rakyat banyak. Jika tidak, maka green extraction hanya akan menjadi greenwashing—sebuah label palsu yang menutupi eksploitasi sesungguhnya.

Raja Ampat adalah ujian moral dan politik bagi Indonesia. Apakah kita akan membiarkannya menjadi korban demi ambisi ekonomi sesaat? Atau justru menjadikannya contoh global bahwa Indonesia bisa memimpin dalam menyeimbangkan pembangunan dan pelestarian? Pilihan ada di tangan kita. Tapi waktu kita tidak banyak.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement