REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sebuah diskusi publik bertema 'Telur Kosmik: Serat Nubuwat Kiai Jembar Manah' digelar di panggung ARTJOG di Jogja National Museum, Yogyakarta pada Selasa (19/8/2025). Acara yang menghadirkan para budayawan, pelajar, mahasiswa, serta masyarakat umum yang tertarik dan ini membedah lebih dalam mengenai makna simbolik dan spiritual Nubuwat Kiai Jembar Manah dalam konteks filosofi dan spiritualitas kontemporer.
Diskusi publik ini membahas mengenai simbolisme, nilai filosofi, hingga nilai spiritual di balik tema tersebut. Narasumber utama dalam diskusi publik ini adalah seniman Faisal Kamandobat serta W. Sanavero, seorang peneliti dan penulis, yang berperan sebagai penanggap.
Faisal menyampaikan bahwa ini adalah kesempatan kali kedua datang di ARTJOG, Jogja National Museum, Yogyakarta, untuk membawakan ceritanya dalam bentuk naskah lukisan. Faisal menciptakan lukisan naskah sepanjang lima meter tersebut dikarenakan terinspirasi oleh tanah kelahirannya di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah yang memiliki sisi antropologis tersendiri.
Ia menggunakan teknik melukis sokaraja, yang pada saat itu sangat akrab di masyarakat Majenang dan menjadi hiasan visual di setiap rumah-rumah. Faisal mengatakan dirinya tumbuh di keluarga pesantren, dan juga tengah meneruskan amanah dari ayahnya untuk meneruskan pesantren yang dimilikinya. Ia mencoba merebut hati masyarakat dengan cara yang unik, dengan melukis kaligrafi klasik mengenai desa tersebut.
“Desa itu menjadi suatu lambang, di mana proses sumber daya, alamnya, mentalnya, pikirannya. Karena hal tersebut cukup rentan di masyarakat, saya membagun kembali strukturnya dengan konsep Telur Kosmik yang tidak hanya sebagai simbol alam semesta, tetapi sebagai cerminan kehidupan yang mengajarkan tentang keseimbangan dan kekuatan fisik spiritual, ungkapnya saat diskusi publik yang berlangsung Selasa petang tersebut.
Ia juga menjelaskan pembuatan lukisan naskah tersebut membutuhkan waktu sekitar satu bulan, dengan melibatkan beberapa santri dan masyarakat desa. Di sisi lain, karyanya juga digunakan untuk backdrop pernikahan warga setempat. Hal tersebut merupakan bentuk pemahaman masyarakat terhadap lukisan sebagai jembatan antar budaya dengan spiritualitas yang dapat digabungkan dengan kearifan lokal masyarakat desa setempat.
Di sisi lain, W. Sanavero menambahkan tentang pentingnya memahami sebuah seni sebelum melakukan penilaian terhadap seni tersebut. "Saya tadinya ingin menanyakan ke Gus (Faisal-Red), kenapa selalu ada wayang di setiap lukisan Jawa. Akan tetapi setelah saya memahami lagi dan lagi, ternyata itu memang ada makna tersendiri," katanya.
Ia mengatakan bahwa nilai-nilai tradisional yang magis menjadi warisan spiritual yang tidak hanya menjadi kenangan, tetapi akan menjadi sumber inspirasi di masa depan. Melalui diskusi publik dan sesi tanya jawab, banyak antusiasme dari peserta melalui pertanyaan tentang perspektif filosofis, budaya, hingga dampaknya bagi pemahaman masyarakat modern. Banyak peserta yang mengaku mendapatkan pemahaman baru dan perspektif berbeda tentang bagaiman simbol dan filosofi dari tema tersebut.