Selasa 02 Sep 2025 18:26 WIB

Aliansi Jogja Memanggil Ungkap Aksi Ricuh di Polda DIY Bukan Hasil Konsolidasi, Sebut Ada Penyusup

Massa yang hadir saat kericuhan terdiri dari berbagai kelompok.

Rep: Wulan Intandari/ Red: Fernan Rahadi
Potret kericuhan massa aksi di Mapolda DIY akhir pekan lalu.
Foto: Wulan Intandari
Potret kericuhan massa aksi di Mapolda DIY akhir pekan lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kericuhan yang terjadi dalam aksi massa di depan Mapolda DIY pada Jumat (29/8/2025) sore hingga Ahad (31/8/2025) terus menjadi sorotan publik apalagi sampai menimbulkan korban jiwa yakni mahasiswa Amikom Yogyakarta, Rheza Sendy Pratama. Diketahui ribuan massa itu tergabung dalam Aliansi Joga Memanggil.

Sebelumnya mereka melakukan konsolidasi di UII Cik Di Tiro dan kemudian melanjutkan aksi di Mapolda DIY. Unjuk rasa yang semula berlangsung kondusif itu tiba-tiba berubah menjadi mencekam saat ada massa yang memulai aksi pembakaran dan dibalas dengan tembakan gas air mata oleh aparat kepolisian di lokasi.

Terkait kericuhan ini, Aliansi Jogja Memanggil kini mengungkap fakta yang terjadi. Humas Aliansi Jogja Memanggil, Boengkoes menyebut kekacauan yang berujung pada perusakan fasilitas dan pembakaran di sekitar Mapolda tidak bisa dilepaskan dari situasi lapangan yang tidak terkendali.

Selain karena kemarahan massa akibat kondisi Indonesia yang tidak baik-baik saja berkaitan dengan DPR maupun kematian Affan Kurniawan, seorang ojek online yang terlindas kendaraan taktis (rantis) milik Brimob saat aksi demonstrasi menolak gaji DPR di  Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025) lalu, ia menegaskan, potensi keberadaan penyusup dalam aksi massa tidak bisa dinafikan.

"Pasti setiap aksi itu pasti ada penyusup dan itu memang kita enggak bisa memunafikan di situ," ungkap Boengkoes di sela-sela aksi damai di Bundaran, UGM, Senin (1/9/2025).

Boengkoes menyampaikan bahwa aksi yang terjadi di Mapolda bukanlah bagian dari konsolidasi resmi massa aksi yang sebelumnya berkumpul di UII Cik Di Tiro. Aksi lanjutan seharusnya dijadwalkan pada 1 September 2025, bukan pada tanggal 29 atau 30 Agustus. 

"Itu (aksi yang terjadi di Polda DIY sampai Ahad kemarin -Red) bukan konsolidasi hasil Cik Di Tiro karena kemarin kan kesepakatan Cik Di Tiro itu adalah kita akan aksi tanggal 1 September namun bukan berarti kita tidak membackup teman-teman yang ikut aksi di Polda waktu itu," ucapnya.

Ia juga menyebut bahwa massa yang hadir saat kericuhan terdiri dari berbagai kelompok, termasuk yang tidak terlibat dalam konsolidasi sebelumnya, yang membuat situasi semakin tidak terkendali. Aliansi Jogja Memanggil juga menyoroti minimnya persiapan dalam aksi tersebut.

Tidak ada perencanaan dari sisi keamanan, logistik, hingga tim medis yang biasanya disiapkan saat aksi besar.

"Waktu itu kan memang teman-teman yang ikut di sana enggak ada persiapan sama sekali keamanan, logistik, medis, dan lain sebagainya memang itu tidak disiapkan secara matang karena waktu itu adalah konsolidasi bukan teklap," kata dia.

Meski bukan bagian dari rencana aksi resmi, solidaritas tetap diberikan kepada peserta aksi yang hadir pada malam itu. Namun Boengkoes mengingatkan agar aksi-aksi ke depan dilakukan dengan kewaspadaan lebih tinggi apalagi terhadap potensi provokator atau penyusup.

"Kita enggak usah terprovokasi, saling jaga kawan dan lihat kanan-kiri itu saja," pesannya.

Terkait aksi perusakan dan pembakaran, Boengkoes menyebut hal itu sebagai ekspresi dari amarah yang sudah lama terpendam di tengah masyarakat.

"Itu adalah akumulasi kemarahan rakyat yang diluapkan secara dalam bentuk ekspresi," ungkapnya.

Lebih jauh, Aliansi Jogja Memanggil meminta agar seluruh elemen aksi untuk menjadikan insiden Mapolda sebagai pelajaran penting. Mereka menegaskan pentingnya pengorganisiran yang matang, pengamanan internal, serta kewaspadaan terhadap pihak luar dalam setiap aksi.

Aksi Massa Berujung Tragis

Diketahui, kericuhan yang pecah sejak Jumat (29/8/2025) malam itu berlangsung selama tiga hari berturut-turut hingga Ahad (31/8/2025) pagi. Puncaknya, aksi diwarnai bentrok antara massa dan aparat, pelemparan bom molotov, hingga kerusakan di sekitar Mapolda DIY.

Tragisnya, seorang mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta, Rheza Sendy Pratama, meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. Dugaan kekerasan oleh aparat terhadap Rheza sempat mencuat, namun hingga kini belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement