Jumat 12 Sep 2025 07:09 WIB

Rencana Menkeu Tarik Dana Rp 200 T, Ekonom UGM Ingatkan Dampaknya terhadap Stabilitas Rupiah

Ia menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan stabilitas domestik dan eksternal.

Rep: Wulan Intandari/ Red: Fernan Rahadi
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengacungkan jempol usai mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025). Komisi XI DPR menyetujui pagu anggaran Kementerian Keuangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2026 sebesar Rp52,02 triliun.
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengacungkan jempol usai mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025). Komisi XI DPR menyetujui pagu anggaran Kementerian Keuangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2026 sebesar Rp52,02 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Wacana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang ingin menarik dana sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia menuai perhatian publik tak terkecuali dari para pengamat ekonomi. Seperti diketahui, Purbaya menyampaikan hal tersebut dalam rapat bersama DPR sebagai bagian dari strategi menjaga likuiditas dan menggerakkan sektor riil.

Meski tujuan kebijakan Purbaya terlihat pro-pertumbuhan dan berorientasi pada penciptaan lapangan kerja, muncul kekhawatiran dari kalangan akademisi terkait implikasi kebijakan ini terhadap perekonomian nasional, khususnya stabilitas eksternal.

 

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Denni Puspa Purbasari, mengomentari rencana ini dengan memberikan sejumlah catatan penting. Ia menilai bahwa kebijakan yang dirancang Purbaya memang berorientasi pada pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja melalui peningkatan likuiditas. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan semacam itu bisa membawa dampak terhadap stabilitas eksternal, khususnya terhadap nilai tukar Rupiah.

 

"Akibatnya, dana mereka berpotensi dialihkan ke luar negeri. Apabila kondisi ini terjadi, kurs Rupiah akan terdepresiasi, yakni melemah terhadap mata uang asing," ujar Denni, Kamis (11/9/2025).

 

Ia menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara stabilitas domestik dan eksternal. Keseimbangan internal, kata Denni, mencakup makroekonomi yang stabil, inflasi yang rendah, serta pengangguran yang terjaga. Sementara itu, stabilitas eksternal mencakup kondisi neraca transaksi berjalan dan arus modal asing yang tetap sehat dan berkelanjutan.

 

Denni menggarisbawahi bahwa kedua tujuan ini kerap berbenturan.

 

"Atau sebaliknya, kebijakan yang ditujukan untuk mengejar stabilitas eksternal, dapat berdampak negatif terhadap stabilitas internal negara itu," ucapnya.

 

Sementara itu, dalam konteks global yang kompetitif, Denni juga menekankan pemerintah perlu memperhatikan ekspektasi pelaku pasar dan persepsi investor terhadap potensi keuntungan. Hal ini penting, karena keputusan investor dalam mengalirkan modal sangat ditentukan oleh perbandingan imbal hasil dan risiko antar negara.

 

"Pak Purbaya perlu menimbang ini, agar depresiasi yang terjadi tidak terlalu drastis yang menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan tidak lagi dapat dibiayai," katanya tegas.

 

Denni juga menyoroti posisi Bank Indonesia dalam pengelolaan likuiditas nasional. Menurutnya, langkah penarikan dana oleh pemerintah harus disesuaikan dengan mandat dan kewenangan BI sebagai otoritas moneter yang bertanggung jawab menjaga kestabilan nilai Rupiah. Terlebih lagi, jika merujuk pada data terbaru dari Bank Indonesia menunjukkan tekanan yang meningkat pada neraca pembayaran Indonesia. Hingga semester I 2025, neraca transaksi berjalan mencatat defisit sebesar 3,2 miliar dolar, disertai defisit neraca finansial senilai 5,6 miliar dolar.

 

Ini menjadi pergeseran dari kondisi tahun 2024, di mana meskipun neraca transaksi berjalan juga defisit, namun neraca finansial masih surplus walau tipis.

 

Ia tak menepis bahwa penyebab utama defisit di neraca finansial adalah keluarnya investasi portofolio, seperti obligasi dan saham, yang mencapai 8 miliar dolar. Arus keluar ini tidak mampu ditutup oleh foreign direct investment (FDI) yang hanya menyentuh angka 5 miliar dolar. Apalagi diketahui pelemahan Rupiah terhadap dolar AS relatif moderat sepanjang 2025 yakni hanya 1,44 persen, nilai tukar Rupiah mencatat depresiasi lebih besar terhadap mata uang lain: 4,62 persen terhadap Yuan, 8,17 persen terhadap dolar Singapura, 8,68 persen terhadap dolar Australia, dan 14,42 persen terhadap Euro.

 

"Investasi portofolio sangat dipengaruhi oleh sentimen investor," ungkapnya.

 

Dengan situasi tersebut, Denni menilai pemerintah perlu lebih hati-hati dalam meluncurkan kebijakan likuiditas, agar tidak menambah tekanan terhadap nilai tukar dan neraca pembayaran nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement