Jumat 19 Sep 2025 14:06 WIB

Pengamat: Kajian Wajib Sebelum Terapkan Komisi 10 Persen Ojol

Keberadaan ojol selama ini jadi bantalan ekonomi di tengah sulitnya lapangan kerja.

Jaket ojek online. Ilustrasi
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Jaket ojek online. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Pengamat Ekonomi Sumatera Utara, Benjamin Gunawan, yang juga Akademisi Universitas Islam Sumatera Utara, menegaskan pentingnya kajian mendalam sebelum pemerintah memutuskan kebijakan penurunan komisi aplikator ojek online (ojol) dari 20 persen menjadi 10 persen.

“Sebaiknya memang dilakukan kajian atau uji dari kebijakan tarif komisi 10 persen untuk aplikator, dari yang selama ini berada di batas atas 20 persen. Untuk mengetahui apakah kebijakan penurunan sharing komisi itu tidak memberikan dampak negatif terhadap ekosistem industri ride hailing. Sebaiknya kebijakan tersebut diuji terlebih dahulu,” jelasnya, Kamis (18/9/2025).

Benjamin mengingatkan, meski tuntutan driver ojol menurunkan komisi menjadi 10 persen bisa dimaklumi demi kesejahteraan, dampak lain juga harus diperhatikan. Jika ruang gerak aplikator berkurang, terutama dalam memberikan promo ke pelanggan, justru bisa menekan permintaan layanan ojol.

“Jangan sampai kebijakan ini diambil justru membuat penggunaan jasa layanan ojol masyarakat turun, yang pada akhirnya memicu penurunan pendapatan,” katanya.

Ia mencontohkan, jika komisi tetap 20 persen, seorang driver bisa mendapat 10 orderan per hari dengan penghasilan bersih Rp 150 ribu. Apabila komisi diturunkan menjadi 10 persen, penghasilan per order memang naik, tetapi jumlah order belum tentu tetap sama, apalagi jika promo dari aplikator berkurang.

“Dengan penurunan sharing komisi aplikator menjadi 10 persen, apakah ini tetap akan menjamin bahwa konsumen akan melakukan pemesanan melalui ojol? Atau justru membuat konsumen tidak lagi menggunakan ojol,” ujar Benjamin.

Dari sisi ekonomi, ia menyebut perhitungan rentabilitas memang bisa menunjukkan keuntungan bagi driver, tetapi dari sisi profitabilitas risikonya juga besar. Oleh sebab itu, ia menilai skema 20 persen yang berlaku saat ini masih cukup tepat.

“DPR sebaiknya menjadi penengah tuntutan para ojol saat ini. Jangan sampai mengeluarkan kebijakan yang justru merusak ekosistem industri ride hailing itu sendiri," katanya.

Benjamin menambahkan, keberadaan ojol selama ini menjadi bantalan ekonomi di tengah sulitnya lapangan kerja. Jika ekosistemnya terganggu, dampaknya bisa berpengaruh besar terhadap data pengangguran nasional.

“Bayangkan saja kalau tidak ada ojol, data pengangguran akan menunjukan bagaimana buramnya perekonomian di tanah air," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement